"Bang Dodi! Bang Dodi kah?" Sorak Nana.
Ternyata benar. Bang Dodi adalah kakak tingkat di SMP dulu. Idola pada zamannya. Tetapi kini, badan atletisnya menjadi kurus. Tuberkulosis menyerang raganya, dan sampai saat ini masih rutin mengonsumsi obat yang tak boleh putus, begitu cerita yang disampaikannya.
"Kenapa Abang memaksakan diri ke danau ini yang perjalanannya jauh?" Tanya Nana lirih.
"Siapa tahu ini terakhir kali Na," ujarnya sambil tertawa sumbang.
Tiga hari tiga malam menginap di danau. Walau di tenda yang berbeda, setiap pagi dan malam Nana membuatkannya kopi walau hanya diminum seteguk.Â
Nana membuatkan puding ala anak gunung, susu cair dicampur dengan roti tawar ditaburi kepingan cokelat batang. Juga menghidangkan nasi goreng spesial.
"Kerilmu seperti kantong Doraemon, banyak makanan ya," canda Dodi.
"Na, Abang selama di sini jadi gemuk nih," lanjutnya.
Sebenarnya, Nana ingin turun karena log panggilan handphonenya telah penuh. Tapi, rasanya tidak tega melihat seraut wajah ceria yang telah menanggalkan pasi. Â Juga kuatir meninggalkan Dodi sendiri.
Hari hampir petang, Nana memberanikan diri pamit untuk turun pulang.
"Na, Abang umpama pohon kering dalam kemarau dan menunggu setitik embun," ujarnya lirih.
"Mungkin Nana rela menjadi sang embun?" Tanyanya.
Nana hanya diam, tanpa memberi jawaban.
"Oh Tuhan, aku harus menjawab apa," Nana membatin.Â