Fajar memerah tak seperti bibir Nana yang pucat di bawah tudung. Dia sedang bersama ilalang yang bergoyang mengikuti hembusan angin. Alangkah nikmatnya bercerita dengan ilalang, ilalang mengiyakan segala perbincangan.
Sungguh, dirinya membenci duduk seorang diri, hilang daya pikir. Ke mana akan pergi? Hari masih pagi. Jangan katakan entahlah, toh dirimu bukan manusia abu-abu yang hidup di dunia semu. Â
Baiklah, dia beranjak hendak pergi. Diraihnya keril dan mulai melangkah. Dia mengingat suatu masa pernah ke sebuah danau dalam kenang dan membuatnya tenang.
Danau dengan ketinggian 1.950 meter di atas permukaan laut (mdpl) membuka jalan pikiran untuk menuju ke sana. Hanya 2 jam perjalanan menuju puncak 2.000 mdpl dan turun ke danau yang indah. Danau nan elok dikelilingi tujuh gunung.
Dalam perjalanan, dia berpapasan dengan anak-anak dengan pipi yang memerah bak tomat, mereka tinggal di desa terdekat. Mereka berlari menuju puncak, sedangkan Nana sedang menghela nafas satu persatu.Â
Bersandar di pokok kayu kala tiba di puncak, ternyata anak-anak tadi sudah berlarian lagi untuk turun pulang. Meneguk sebotol air mineral tandas dan sepotong roti, Nana tak sabar lagi ingin sampai ke danau.
Menuruni jalan licin menuju danau, tiba di sana sudah ada beberapa tenda berdiri di pinggir danau. Nana mendirikan tendanya yang mungil di samping tenda-tenda itu.
Merentangkan pinggang sambil melamun, seraut wajah melongok. Pria kurus dengan paras pucat.
"Maaf, Nona berasal dari mana?" Ujarnya.
Nana terkesima, karena wajah pria ini pernah menghiasi khayal masa remajanya.