"Wah, ada yang kesal nih," goda seseorang. Aku seperti mengenal suara yang lembut itu. Aku menoleh, eh Ara!
"Kok ada di sini," selidikku.
"Lho, aku jadi juri hari ini," katanya.
"Ya sudah, lanjutkan tugasmu," usirku.
Dia berlalu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Duh, senyumnya seperti sebatang cokelat di saku celana, manis.
Aku memilih menyelinap pulang. Bubarkan, buyarkan romansa picisanmu, begitu bisik di telinga. Sambil mengumamkan lagu Runaway.
And I was runnin' far away
Would I run off the world someday?
Nobody knows, nobody knows
And I was dancing in the rain
Iya, hujan selalu menjadi teman dalam kesedihan. Dalam hujan, alangkah lega meluap-luap tangis. Toh tak ada yang tahu dirimu menangis. Hanya hujan, hanya hujan yang memahami.
"Aku tahu dirimu menangis," teriak seseorang.
Aku menoleh ke belakang, kembali ada Ara. Apakah dia malaikat? Begitu cepat menyelinap datang. Ara mengambil gambar begitu cepat.
"Lihat, kamu begitu innocent, murni dalam tangis," ujarnya sambil memperlihatkan foto diriku sedang menangis.
"Hei, bidadari tidak boleh sering-sering menangis, ujarnya sambil mengecup keningku.
Aku membisu. Sebenarnya kenapa aku menangis? Sebab musabab yang tak kutemukan. Jika ingin menangis, aku akan menangis. Tangis yang tak berbunyi.
Seusai berjumpa dengannya, aku tak lagi bertemu dengannya. Entah ke mana Ara. Dirinya seperti ditelan bumi, tanpa kabar berita. Dan ranting yang patah tak mungkin kembali menemukan pokok pohon.