Apakah kamu pernah sedang patah hati lalu berkonflik dalam keluarga. Dirimu merasa tak punya arti sama sekali.
Kekasihmu meninggalkanmu, keluarga juga seolah meninggalkanmu, padahal sebenarnya tidak. Dirimu hanya sedang hampa.
Dirimu mungkin memilih mengelola sendiri kepahitan hidup menjadi manis untuk dikecap.
Keluar, keluarlah dari lubuk kesedihanmu, begitu kira-kira isi mantra patah hati. Iya seperti diriku yang ringan kaki melangkah ke mana aku suka.
Keras hati dan keras kepala terkoneksi dengan sempurna. Kaki menghentak keras, bumi mendengar kemarahan yang terpendam.
Begitulah, mulut tak bicara tapi hati bercakap-cakap dengan riuhnya. Sampai aku lupa, aku berada di mana ini?
Sebuah rumah kayu di pinggir hutan. Oh, apakah aku seorang putri yang dibuang ke hutan. Lalu memakan buah apel dan tertidur selamamya, kemudian menunggu sang pangeran membangunkan dari tidur panjang. Ah itu dongeng.
Aku mulai mencubit pipi, ini bukan mimpi. Aku mengitari rumah yang ternyata jendela belakangnya terbuka. Aku kembali berimajinasi, jangan-jangan rumah perompak. Ingin rasanya mengambil langkah seribu.
"Eit, mau ke mana nak," sebuah sapaan terdengar di telinga. Seorang nenek sedang asyik mengunyah daun sirih. Air liurnya berwarna merah pekat di sudut bibir.
Aku terpana. Nenek sihir, yang jahat sedang ingin menjebak mangsanya, begitu terlintas di pikiran. Tapi, ini tahun 2022, zaman kuda gigit roti, mustahil.
"Nek, saya kesasar tdak tahu jalan pulang," akhirnya keluar juga suaraku terbata.
"Jangan kuatir, nanti diantar pulang," nenek itu berkata. "Ayo masuk!"
Dengan pasrah, aku mengikuti sang nenek yang bernama Nenek Rabiah , duduk di bangku kayu. Nenek Rabiah mengambil sirihnya yang baru. Di bersihkannya dengan kain bersih, diambilnya gambir, kapur sirih, pinang dan dilipatnya daun sirih tersebut. Dia mulai mengunyah dan menawari ikut makan sirih.
Aku menirukan Nenek Rabiah meramu sirih, mengambil sirih, gambir, kapur dan pinang. Mengunyahnya, terasa kelat dan pedas. Ingin meludah cepat-cepat.
Kami mulai bercakap, Nenek Rabiah menceritakan bahwa sudah 60 tahun hidup sendiri di pinggir hutan. Semua gara-gara minggat dari rumah karena kemarahan pada keluarga.
Hidup ini seperti mengunyah sirih. Kelat tapi bermanfaat. Engkau tahu nak, aku telah mengingkari filosofi sirih pinang. Sejatinya sirih seperti kulit manusia, pinang adalah daging, dan air ludah yang berwarna merah adalah darah. Bersatu dalam satu kesatuan. Dan aku malah memilih pergi, memecah diri pergi dari keluarga.
Karmanya, aku akan mati sendiri, tanpa keluarga tanpa siapa-siapa. Mata Nenek Rabiah berlinang, dia melempar ludah terakhir. Sirih terakhir malam ini.
Aku tercenung, pelajaran kehidupan yang harus direnungi. Mungkin rasa sombong Nenek Rabiah di masa muda seperti gejolak diriku kini. Pergi membawa masalah bukan berarti masalah usai. Atau masalah itu ada pada diriku.
"Nek, aku mau pulang dan aku tahu ke mana arah harus pulang," ujarku.
"Hati-hati di jalan," Nenek Rabiah terkekeh.
Aku bergegas pulang, menoleh ke belakang ingin melambai pada Nenek Rabiah. Aku mengucek mata, di mana rumah Nenek Rabiah tadi? Seperti tertutup kabut atau memang tak ada?
Aku masih mengenggam satu ramuan sirih pinang dari Nenek Rabiah, mengunyahnya dan ingin cepat pulang. Â
FS, 03 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H