"Nek, saya kesasar tdak tahu jalan pulang," akhirnya keluar juga suaraku terbata.
"Jangan kuatir, nanti diantar pulang," nenek itu berkata. "Ayo masuk!"
Dengan pasrah, aku mengikuti sang nenek yang bernama Nenek Rabiah , duduk di bangku kayu. Nenek Rabiah mengambil sirihnya yang baru. Di bersihkannya dengan kain bersih, diambilnya gambir, kapur sirih, pinang dan dilipatnya daun sirih tersebut. Dia mulai mengunyah dan menawari ikut makan sirih.
Aku menirukan Nenek Rabiah meramu sirih, mengambil sirih, gambir, kapur dan pinang. Mengunyahnya, terasa kelat dan pedas. Ingin meludah cepat-cepat.
Kami mulai bercakap, Nenek Rabiah menceritakan bahwa sudah 60 tahun hidup sendiri di pinggir hutan. Semua gara-gara minggat dari rumah karena kemarahan pada keluarga.
Hidup ini seperti mengunyah sirih. Kelat tapi bermanfaat. Engkau tahu nak, aku telah mengingkari filosofi sirih pinang. Sejatinya sirih seperti kulit manusia, pinang adalah daging, dan air ludah yang berwarna merah adalah darah. Bersatu dalam satu kesatuan. Dan aku malah memilih pergi, memecah diri pergi dari keluarga.
Karmanya, aku akan mati sendiri, tanpa keluarga tanpa siapa-siapa. Mata Nenek Rabiah berlinang, dia melempar ludah terakhir. Sirih terakhir malam ini.
Aku tercenung, pelajaran kehidupan yang harus direnungi. Mungkin rasa sombong Nenek Rabiah di masa muda seperti gejolak diriku kini. Pergi membawa masalah bukan berarti masalah usai. Atau masalah itu ada pada diriku.
"Nek, aku mau pulang dan aku tahu ke mana arah harus pulang," ujarku.
"Hati-hati di jalan," Nenek Rabiah terkekeh.
Aku bergegas pulang, menoleh ke belakang ingin melambai pada Nenek Rabiah. Aku mengucek mata, di mana rumah Nenek Rabiah tadi? Seperti tertutup kabut atau memang tak ada?