Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sirih Pinang dari Nenek Rabiah

3 Desember 2022   07:56 Diperbarui: 3 Desember 2022   07:56 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/03/20/fun-facts-hal-unik-ini-hanya-ada-di-indonesia

"Nek, saya kesasar tdak tahu jalan pulang," akhirnya keluar juga suaraku terbata.

"Jangan kuatir, nanti diantar pulang," nenek itu berkata. "Ayo masuk!"

Dengan pasrah, aku mengikuti sang nenek yang bernama Nenek Rabiah , duduk di bangku kayu. Nenek Rabiah mengambil sirihnya yang baru. Di bersihkannya dengan kain bersih, diambilnya gambir, kapur sirih, pinang dan dilipatnya daun sirih tersebut. Dia mulai mengunyah dan menawari ikut makan sirih.

Aku menirukan Nenek Rabiah meramu sirih, mengambil sirih, gambir, kapur dan pinang. Mengunyahnya, terasa kelat dan pedas. Ingin meludah cepat-cepat.

Kami mulai bercakap, Nenek Rabiah menceritakan bahwa sudah 60 tahun hidup sendiri di pinggir hutan. Semua gara-gara minggat dari rumah karena kemarahan pada keluarga.

Hidup ini seperti mengunyah sirih. Kelat tapi bermanfaat. Engkau tahu nak, aku telah mengingkari filosofi sirih pinang. Sejatinya sirih seperti kulit manusia, pinang adalah daging, dan air ludah yang berwarna merah adalah darah. Bersatu dalam satu kesatuan. Dan aku malah memilih pergi, memecah diri pergi dari keluarga.

Karmanya, aku akan mati sendiri, tanpa keluarga tanpa siapa-siapa. Mata Nenek Rabiah berlinang, dia melempar ludah terakhir. Sirih terakhir malam ini.

Aku tercenung, pelajaran kehidupan yang harus direnungi. Mungkin rasa sombong Nenek Rabiah di masa muda seperti gejolak diriku kini. Pergi membawa masalah bukan berarti masalah usai. Atau masalah itu ada pada diriku.

"Nek, aku mau pulang dan aku tahu ke mana arah harus pulang," ujarku.

"Hati-hati di jalan," Nenek Rabiah terkekeh.

Aku bergegas pulang, menoleh ke belakang ingin melambai pada Nenek Rabiah. Aku mengucek mata, di mana rumah Nenek Rabiah tadi? Seperti tertutup kabut atau memang tak ada?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun