Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ada Cinta dalam Sesayak Air Sebuk Kawo

11 November 2022   21:09 Diperbarui: 13 November 2022   00:15 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Wadah minum yang terbuat dari tanah liat. (Foto: KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)

Jika jiwa memanggil, raga akan mengikuti berlari. Begitulah, ketika pagi dalam gerimis yang tak berkesudahan dengan ditemani sarung membelit sekujur badan, aku termangu melihat titik-titik air yang riang jatuh bercucuran. 

Hari ini, semestinya aku mendaki Danau Gunung Tujuh, danau yang terletak di ketinggian 2.000 m dpl. Raga rasanya enggan tapi jiwa dalam gelora semangat, raga mengalah dan ikut akan kata jiwa.

Aku mulai mengemasi perlengkapan mendaki, melonggok logistik makanan. Hmm, rasanya cukup, toh hanya menginap semalam. 

Aku menuju warung untuk membeli nasi bungkus untuk makan siang di jalan. Ibu penjual nasi sangat ramah, dan bercakap dengannya sangatlah menyenangkan.

Aku melongok ke dalam dapurnya, karena hawa hangat begitu terasa dari arah dapur. Di dapur, seorang perempuan tua sedang berdiang di dekat tungku.  Tangannya memegang jepitan dari bambu yang menjepit daun-daun. Memanaskan daun-daun tersebut. 

"Tino, daun apa itu?" tanyaku penasaran sambil mendekati ikut berdiang. Tino dalam bahasa Kerinci adalah nenek.

"Ini daun kawo" ujar Tino. 

Tino menerangkan bahwa daun yang dipanaskan di atas api adalah daun kawo, kawo dalam bahasa Kerinci adalah kopi. 

Daun kawo adalah daun-daun kopi liar yang menjadi gulma dan sering disingkirkan oleh petani kopi, tapi bisa juga berasal dari tunas muda pohon kopi.

Daun kawo dari tunas atau dahan muda dipetik dari pohon kopi, biasanya jenis kopi robusta. Lalu jepit dengan bilah bambu dan diletakkan pada tempat yang panas tapi bukan dijemur di bawah cahaya matahari. 

Bisa diletakkan di atas dapur biarkan mengering, kadang sampai seminggu baru kering. Persis cara membuat salai ikan.

Sumber foto https://pdipkreatif.id/detail/kuliner/1219/galeri
Sumber foto https://pdipkreatif.id/detail/kuliner/1219/galeri

Kemudian baru dipanaskan langsung di atas api seperti yang dilakukan Tino tadi dan setelah dingin daun kawo diremas hingga menjadi potongan kecil-kecil. Dan inilah disebut "Sebuk Kawo".

Tino segera memasukkan sebuk kawo ke dalam teko berisi air panas mendidih, menyeduhnya. Dan jadilah Air Sebuk Kawo.

"Ayo minum Air Sebuk Kawo" tawar Tino dengan mengulurkan sayak. Sayak adalah mangkok yang terbuat dari batok kelapa. 

Biasanya, Air Sebuk Kawo yang berasal dari sebuk kawo ini dihidangkan dalam tabung bambu  dengan mangkok batok kelapa. Air Sebuk Kawo adalah minuman khas Kerinci yang sudah ada dari zaman Belanda.

Aku menciumi aroma yang agak aneh, bukan aroma kopi tentu saja. Terasa agak kelat di lidah, meminumnya dalam keadaan hangat dan terasa sekujur badan juga hangat. 

Air Sebuk Kawo memang berkhasiat untuk menghangatkan badan, mengembalikan stamina tubuh apalagi dalam cuaca dingin seperti ini.

"Wah Tino, bisa minta sebuk kawonya? "pintaku. 

Tino mengambil sejumput sebuk kawo memasukkan dalam plastik. Aku mengucapkan banyak terima kasih dan siap berangkat.

Aku selalu PeDe jalan sendiri, seorang teman apalagi tidak satu frekuensi adalah ribet., rumit dan mood bisa buyar. Gerimis masih setia menetes membasahi jas hujan. Tak ada guna mengutuk, toh ini pilihanmu, batinku berkata.

Terseok-seok dalam jalan yang licin, langkah berayun letih bersama trekking pole yang ikut lelah. Baiklah, sudah semakin terang dan puncak hampir kelihatan. 

Perjalanan mendaki sampai puncak hanya butuh waktu 2 jam. Tapi kali ini terasa agak lama, mungkin karena belum makan siang pikirku.

Akhirnya, puncak kugapai. Sebuah tenda berdiri manis dengan seorang perempuan manis. Aku segera mendekat, menumpang makan sebelum tenda yang kubawa didirikan.

Sumber foto: https://afriarengki.blogspot.com
Sumber foto: https://afriarengki.blogspot.com

Namanya Nana, kami berbincang akrab. Nana dan beberapa temannya berasal dari Bandung.

"Tapi kok sendirian, Na?"tanyaku.

"Agak ngga enak badan, jadi tinggal di tenda saja. Teman-teman pada jalan ke seberang," ujarnya.

Aku jadi teringat sejumput sebuk kawo yang diberikan Tino tadi pagi. 

"Coba minum Air Sebuk Kawo, Na" tawarku. 

Aku segera memasak air dan menyeduh sebuk kawo. Nana meniup-niup Air Sebuk Kawo sambil meminumnya sedikit demi sedikit. Helai rambutnya bertiup dalam kepulan panas Air Sebuk Kawo. Cantik, diriku berbisik.

"Eh kok rasanya enak banget ya, jadi hangat," pipinya mulai merona merah. 

"Nah, ini berkat Air Sebuk Kawo dan pria yang memberi Air Sebuk Kawo," sambutku tanpa ragu.

"Terima kasih," ujarnya dengan wajah bersemu merah.

Begitulah jatuh cinta, datang tak terduga. Apakah jatuh cinta bersambut menjadi sebentuk cinta, entahlah. 

Yang jelas, malam nanti aku akan mengajak dia, menyalakan api unggun, menjerang ceret, mengambil sejumput sebuk kawo dan menyeduh sebuk kawo. Bersulang, minum Air Sebuk Kawo berdua.

Nanti, kita akan minum Air Sebuk Kawo bersama ketika turun gunung nanti. Akan kuajak dirimu menikmati Air Sebuk Kawo yang tersaji dalam sayak-sayak tempurung di dapur rumah panggung nan hangat. Menemukan kehangatan dan cinta dalam sesayak Air Sebuk Kawo. Semoga Na!

FS, 11 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun