Pada masa Kolonial Belanda di Kerinci terdapat pusat Onderneming (perkebunan) dengan tiga lokasi perkebunan yang dibangun yaitu perkebunan kopi di kawasan Batang Merangin (1928), perkebunan Kina di Pulau Sangkar dan perkebunan teh di Kayu Aro.Â
Perkebunan kopi dan kina ini masih dalam satu kawasan kedepatian Rencong Telang (Pulau Sangkar) sehingga Belanda memberi kompensasi pembangunan jembatan kepada masyarakat adat yakni jembatan Beton/semen di Lubuk Sahap (jembatan ini rubuh tahun 1930) dan satu buah jembatan gantung yang selesai dibangun tahun 1932.Â
Untuk mewujudkan tiga perkebunan ini, Belanda mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa. Sehingga daerah-daerah ini hingga kini penduduknya banyak berasal dari Jawa dan sudah beranak pinak di sini.Â
Perusahaan swasta dari Belanda, NV. HVA (Namlosde Venotchaaf Handle Vereniging Amsterdam) mendapat konsesi lahan dengan luas 10.000 Ha dan mendirikan perkebunan teh bernama Kajoe Aro.Â
Dengan memanfaatkan hak sewa erfpacht dalam mengelola perkebunan teh Kayu Aro. Hak erfpacht merupakan hak guna usaha atau hak kebendaan untuk menikmati kegunaan tanah kepunyaan pihak lain.
Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan kewenangan yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah.
Pembukaan lahan perkebunan dimulai tahun 1920 serta penanaman teh mulai dilakukan pada tahun 1923, dan hasil penanaman teh perdana ini menunjukkan hasil yang baik dengan menghasilkan pucuk-pucuk teh yang berkualitas sehingga pada tahun 1925 didirikan pabrik teh yang berlokasi di Bedeng Delapan Kayu Aro.Â
Beberapa fasilitas didirikan seperti perumahan untuk pegawai, rumah sakit, gereja dan lainnya. Pabrik baru bisa beroperasi pada tahun 1932.Â
Hasil produksi teh kebun teh Kayu Aro meningkat dengan baik sehingga luasnya mencapai 2.590 Ha pada tahun 1940 dan menjadikan kebun teh Kayu Aro sebagai kebun teh terluas di keresidenan Sumatra Westkust.