Beberapa hari yang lalu, yakni tanggal 7 Februari 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis Siaran Pers, Nomor: SP. 032/HUMAS/PPIP/HMS.3/02/2022 yang menegaskan bahwa "Sawit Bukan Tanaman Hutan". Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,'' tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto. Dalam Peraturan Menteri LHK P.23/2021 sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Begitu siaran pers dari KLHK yang dikutip dari halaman website KLHK.
Kenapa disebutkan "Sawit Bukan Tanaman Hutan"? Penjelasan dari KLHK, mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi.
KLHK juga menyatakan bahwa Pemerintah saat ini lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah. Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.
Kelapa sawit dalam kampanye hitam minyak kelapa sawit (CPO) di pasar global Eropa, sering dituding merusak biodiversity hutan. Seperti berita yang dilansir dari Kompas.com tanggal 07 Februari 2021, tahun lalu. Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memberi sanggahan bahwa pemerintah akan mengubah strategi dalam melawan kampanye hitam tersebut dengan strategi promosi tidak lagi defensive (bertahan) tetapi juga harus offensif (menyerang). Kenapa hanya kelapa sawit yang dituding merusak keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan, bagaimana dengan rapeseed di Eropa juga memiliki dampak terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) dan lingkungan.
Menjadi dilema, kelapa sawit bagi pemerintah juga menjadi sektor strategis bagi perekonomian masyarakat. Kelapa sawit menjadi komoditas yang efisien dalam penggunaan lahan dibandingkan dengan komoditas bahan baku minyak nabati lainnya.
Bagaimana kisah kelapa sawit ada di Indonesia? Kisah dimulai ketika kelapa sawit yang asli Afrika ini ditanam oleh orang Belanda di Kebun Raya Bogor tahun 1848. Dari 4 biji kelapa sawit inilah dicoba dibudidayakan hingga meluas di Sumatera dan akhirnya menyebar ke wilayah Indonesia.
Varietas kelapa sawit yang ditanam di Indonesia biasanya Elaeis Guineesis Jacqu, pohon kelapa sawit mulai berbuah umur 3 tahun, bisa dipanen sepanjang tahun dan masa produktifnya sekitar 25 tahun. Tandan buah mengandung minyak 50%, biji buah sawit (kernel) bisa menghasilkan palm kernel oil. Produksi Minyak Kelapa Sawit rata-rata per hektar per tahunnya bisa mencapai 10-12 ton, namun rata-rata di Indonesia berkisar antara 2-4.5 ton, sedangkan untuk palm kernel oil rata-rata sekitar 0.5 ton.
Jadi, kenapa kelapa sawit dituding merusak keanekaragaman hayati? Tentu saja kelapa sawit merusak keanekaragaman hayati jika pembukaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan.Â
Sehingga jika pembukaan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan berakibat diantaranya :
- perkebunan sawit yang didirikan pada hutan primer atau sekunder menjadi habitat yang tidak cocok untuk sebagian besar spesies asli yang tinggal di hutan
- perluasan perkebunan kelapa sawit berdampak negatif pada hutan, terjadinya penebangan hutan serta menghancurkan habitat alam
- merusak hutan yang menjadi habitat satwa yang tinggal di hutan. Pembukaan/perluasan lahan ini juga membuka akses untuk pemburu liar berburu satwa dan menjualnya di pasar satwa illegal
- menciptakan emisi karbondioksida, kampanye ini sangat sering digaungkan. Perusahaan perkebunan sering memakai cara-cara kotor demi menghemat biaya dan cara cepat dengan membakar hutan untuk membuka lahan. Hutan yang terbakar melepaskan gas emisi karbondioksida dan mengancam atmosfer bumi. Pembakaran hutan ini juga menyebabkan asap yang sering menyelimuti wilayah Indonesia hingga ke Negara tetangga dan berbahaya bagi kesehatan
- pembukaan lahan dengan menebang hutan juga menyebabkan erosi pada tanah, polusi pada air karena pemakaian bahan kimia pada perkebunan kelapa sawit
Palm Oil: The Carbon Cost of Deforestation menyebutkan bahwa Indonesia dan Malaysia menyumbang hampir 85% dari produksi minyak sawit global untuk digunakan dalam makanan olahan, kosmetik dan bahan bakar nabati tetapi ribuan hektar hutan hujan menghilang untuk memenuhi permintaan minyak dunia yang terus meningkat.Â
Satu hektar lahan hutan hujan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit membuat kita kehilangan sekitar 174 ton karbon dan satu hektar lahan hutan gambut yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit akan melepaskan 6 ribu ton CO2.
Sudah jelas seperti  dalam siaran pers oleh KLHK,  bahwa sawit bukan tanaman hutan  dan sawit tetap tergolong tanaman perkebunan serta ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Jadi jangan ada lagi perluasan perkebunan sawit di hutan primer ataupun hutan sekunder di wilayah Indonesia.
Sumber 1
Fatmi Sunarya, 09 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H