Kesepian adalah teman, apalagi saat malam menjelang. Jika siang masih terdengar riuh yang mengaburkan sunyi. Bagaimana dengan malam yang gelap? Akulah perempuan yang selalu ketakutan kala malam tiba.
Mungkin dengan menidurkan diri dan cepat berjumpa pagi adalah jalan keluarnya. Sayangnya, mata enggan terpejam. Semakin rasa ketakutan datang semakin gelisah di peraduan.
Aku menyingkap sedikit tirai, mengintip lewat jendela. Hanya jangkrik nyaring bersuara. Suasana begitu gelap. Pepohonan seperti menari dalam kelam.
Hanya ada sedikit cahaya dari langit. Kupandangi langit yang berhias rembulan dan taburan bintang. Rembulan seperti sedang menatapku. Mungkin iba. Aku ikut menatapnya lekat. Dan kamipun dekat.
Aku mulai berbincang dengan rembulan. Tentang kesepian, ketakutan dan mimpi buruk sepanjang malam. Aku merasa dia memahami. Dia bisa menghiburku, senyum mulai menyungging. Aku merasa sebuah pelukan, dari rembulan.
Hari berikutnya, aku ingin segera meninggalkan siang. Bertemu dengan kekasihku, sang rembulan. Kekasih? Iya, aku menyebutnya kekasih. Yang mampu memeluk hangat, mengusir ketakutan, mengecup kening dipenghujung malam. Mengantar lelap dalam mimpi indah berdekapan.
Rembulan selalu datang dengan wajah penuh sumringah, atau kadang mengintip dengan raga separuh. Tak pernah ingkar janji, semesta sebagai saksi.
Kadang dia terlihat di siang hari.
"Hei kekasih, engkau rindukah?" Kataku menggoda.
Dia tersipu dan berlalu.
Hujan begitu lebat malam ini. Sweater warna merah jambu tak mampu menahan dingin. Secangkir kopi akan menghangatkan. Aku beranjak ke dapur, menyeduh secangkir kopi. Titik air membasahi kaca jendela. Kekasihku tak menampakkan diri. Rasa gelisah membuatku masygul.
Rasa kantuk menarik-narik untuk merebahkan diri. Pada peraduan sepi, diriku rebah. Tiba-tiba, aku melihat kekasihku rembulan begitu dekat. Bertatapan sangat dekat.
"Aku menjemputmu!" Ujarnya sambil mengulurkan tangan.