Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tersesat

31 Januari 2021   10:59 Diperbarui: 31 Januari 2021   11:15 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajakan naik gunung selalu cepat aku iyakan. Entah bagaimana medan perjalanan, resiko dan semua itu sering tanpa perhitungan. Itulah yang terjadi sore ini. Sampai di pintu gerbang sudah jam lima sore. Untuk ke puncak dibutuhkan dua jam perjalanan. Itu perjalanan normal. Bagaimana perjalanan diwaktu malam?

Semua perlengkapan dan peralatan sudah siap. Kami tinggal menapak kaki setapak demi setapak dalam hari yang mulai gelap. Hujan rintik mulai turun, raincoat mulai aku kenakan. Sialan, umpatku dalam hati. Aku bakalan berjalan dalam rasa dingin.

Sesekali kaki tergelincir, tersandung akar-akar pohon. Hanya dengan penerangan senter kepala, mencari pegangan di gelap malam. Jam berapa sekarang? Ya ampun, jam delapan malam. Aku sudah tua, sudah tiga jam belum sampai ke puncak. Pikiran mulai kembali ke masa jaya. Mendaki seperti berlari.

Berbincang dalam hati sendiri, seperti kapas yang diterbangkan angin. Ringan, melangkah tanpa pikiran. Hei kemana teman-teman yang lain? Mungkin mereka sudah ke puncak duluan. Aku mulai menenangkan pikiran. Jalan ini satu jalur, tidak mungkin aku tersesat.

Jam sembilan malam aku baru sampai di puncak, butuh empat jam dari perkiraan dua jam perjalanan. Teman-teman sudah mendirikan tenda dan sudah makan malam. Aku ikut makan malam dan berganti pakaian.

Sunrise membangunkan aku di pagi yang dingin. Matras terasa dingin. Oh Tuhan, kenapa aku tidur tanpa tenda. Bukankah semalam aku begitu lelap dalam hangat tenda. Teman? Kemana mereka?

Baik, aku orang yang kuat. Aku segera berkemas, mencari kompas dan menggunakan kompas. Mulai berjalan ke arah selatan. Puncak ada di utara, jadi aku harus turun ke arah selatan. Menurut tetua yang pernah kutemui, pikiran harus konsentrasi, tidak boleh melamun, tidak boleh berpikir macam-macam.

Satu lagi, aku harus pulang. Walau banyak cerita, bahwa ada makhluk halus yang membawa kita pergi dan sulit kembali. Berjalan dengan konsentrasi penuh, sesekali aku mendengar suara memanggil namaku. Acuhkan saja. Sebuah sumber air, ya aku akan mengikuti aliran air.

Ada rasa putus asa, kenapa aku tak bertemu jalur pendakian. Bukankah satu jalur? Ah sudahlah, bergegas ini sudah waktu makan siang. Memakan beberapa biscuit, aku mulai berjalan lagi. Walau jalur ini tak kukenali, menuruni arah selatan. Dan akhirnya aku tiba di tanah datar yang luas.

Tidak ada pos pendakian, aku berpikir, aku turun melewati jalur yang lain. Tidak mungkin tak ada manusia di tanah datar ini. Aku terus berjalan sampai aku menemukan tanaman budidaya penduduk. Bertemu seekor kerbau. Ah leganya.

Dan melihat seorang Bapak tua yang sedang mencangkul. Bapak tua ini rasanya ingin kupeluk. "Pak, aku tersesat dari gunung," teriakku. "Bisakah Bapak membantu aku keluar ke Desa Beringin," kataku beruntun.

Bapak tua mengantar aku keluar dan mencarikan ojek kembali ke Desa Beringin, disana aku menginap di homestay tempo hari. Di homestay ternyata sudah penuh orang, orang-orang yang mencari hilangnya Dini. Dini adalah aku.

FS, 31 Januari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun