Patah hati, bagaimana rasanya patah hati. Dunia terasa kelam tanpa pelita yang bernama Dia. Kadang aku bertanya, terbuat dari apa hati ini? Kenapa dirinya tak beranjak sedikitpun dari hati.
Aku ingin terbang, teriakku pada elang. Aku telah karam, bisikku pada ikan-ikan yang berenang riang. Aku ingin lari, bersembunyi jauh sekali. Ternyata pilihan terakhir yang kupilih. Bersembunyi, bergegas melangkah ke gunung, mungkin disana kutemukan obat penawar untuk hati yang patah.
Di pos penjagaan, petugas bertanya, apakah aku akan sendiri dalam mendaki. Anda perempuan, sebaiknya memakai jasa pemandu atau porter, ujar petugas. Tidak usah, teman-temanku menyusul belakangan, jawabku berbohong. Aku melihat sedikit kekhawatiran dimatanya. Tapi, tekad untuk nekad lebih kuat menarik kaki untuk segera pergi.
Pagi yang berembun menjadi saksi kaki yang seperti ingin berlari. Satu jam aku sudah duduk menghela nafas di shelter satu. Bersyukur ternyata, beberapa pendaki sudah lebih dahulu beristirahat di sana dan mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Ah alangkah menyenangkan, jika dirimu juga di sini. Menghapus peluh atau kita akan memanaskan air untuk dua cangkir kopi. Kenangan mulai meraung-raung dalam jiwa dan membuatku kesal tiba-tiba. Kenapa bayang dirimu ikut dalam perjalanan ini.
Seseorang menepuk pundakku, "Kalau masih disini, kapan sampai di shelter dua?" ujarnya. Aku melirik, seorang perempuan sebaya denganku. Aku tersenyum, akhirnya punya teman jalan sesama perempuan.Â
Di perjalanan kami bercerita tentang negeri-negeri indah yang patut dikunjungi. Aku membatin, dia sangat beruntung bisa pergi ke mana dia suka.
Shelter dua, raga lelah dan kelam gunung mengharuskan untuk tidur. Pagi-pagi sekali mesti naik ke puncak. Setelah saling mengucap selamat tidur, kami berdua tidur. Pagi-pagi aku tak menemukannya. Ah kenapa aku ditinggalkannya. Aku segera bergegas, mumpung cuaca bagus, semoga tidak ada angin badai di puncak.
Dari kejauhan, aku melihat dia. Perempuan seperjalanan melambaikan tangan dan tersenyum. Ya ampun, aku lupa menanyakan namanya. Kusebut dia "perempuan pejalan" saja. Tunggu aku, teriakku. Perempuan itu malah sigap pergi. Kenapa dia begitu cepat, kataku terengah. Puncak semakin dekat, bau belerang makin menyengat. Ke mana lagi dia? Pandanganku mulai nanar. Tiba-tiba puncak diselubungi kabut.
Aku berteriak, di mana dirimu perempuan pejalan? Semua gelap oleh kabut tebal. Aku mulai menangis panik. Aku harus mundur atau maju. Tempat menapak tak tampak. Aku terduduk dan menceracau tak jelas. Tuhan, keluarkan aku dari sini.
Perempuan pejalan terlihat samar dalam kabut. Dia kembali tersenyum, memanggil untuk ikut. Tidak, aku tak ingin ikut denganmu, tiba-tiba terucap kata putus asa. Perempuan pejalan tak menoleh lagi, berjalan di dalam kabut, ditelan kabut.
Bagaimana denganku? Aku ditemukan pingsan di shelter dua oleh para pendaki lainnya. Bukannya tadi aku ke puncak? Ke mana perempuan yang kusebut "perempuan pejalan"? Aku berkali-kali menyebutkan ciri-cirinya. Namun semua menggeleng, tidak pernah bersua dengan Sang Perempuan Pejalan.
FS, 27 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H