Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Pejalan yang Ditelan Kabut

27 Juli 2020   22:54 Diperbarui: 2 Agustus 2020   20:27 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patah hati, bagaimana rasanya patah hati. Dunia terasa kelam tanpa pelita yang bernama Dia. Kadang aku bertanya, terbuat dari apa hati ini? Kenapa dirinya tak beranjak sedikitpun dari hati.

Aku ingin terbang, teriakku pada elang. Aku telah karam, bisikku pada ikan-ikan yang berenang riang. Aku ingin lari, bersembunyi jauh sekali. Ternyata pilihan terakhir yang kupilih. Bersembunyi, bergegas melangkah ke gunung, mungkin disana kutemukan obat penawar untuk hati yang patah.

Di pos penjagaan, petugas bertanya, apakah aku akan sendiri dalam mendaki. Anda perempuan, sebaiknya memakai jasa pemandu atau porter, ujar petugas. Tidak usah, teman-temanku menyusul belakangan, jawabku berbohong. Aku melihat sedikit kekhawatiran dimatanya. Tapi, tekad untuk nekad lebih kuat menarik kaki untuk segera pergi.

Pagi yang berembun menjadi saksi kaki yang seperti ingin berlari. Satu jam aku sudah duduk menghela nafas di shelter satu. Bersyukur ternyata, beberapa pendaki sudah lebih dahulu beristirahat di sana dan mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Ah alangkah menyenangkan, jika dirimu juga di sini. Menghapus peluh atau kita akan memanaskan air untuk dua cangkir kopi. Kenangan mulai meraung-raung dalam jiwa dan membuatku kesal tiba-tiba. Kenapa bayang dirimu ikut dalam perjalanan ini.

Seseorang menepuk pundakku, "Kalau masih disini, kapan sampai di shelter dua?" ujarnya. Aku melirik, seorang perempuan sebaya denganku. Aku tersenyum, akhirnya punya teman jalan sesama perempuan. 

Di perjalanan kami bercerita tentang negeri-negeri indah yang patut dikunjungi. Aku membatin, dia sangat beruntung bisa pergi ke mana dia suka.

Ilustrasi hipwee.com
Ilustrasi hipwee.com

Shelter dua, raga lelah dan kelam gunung mengharuskan untuk tidur. Pagi-pagi sekali mesti naik ke puncak. Setelah saling mengucap selamat tidur, kami berdua tidur. Pagi-pagi aku tak menemukannya. Ah kenapa aku ditinggalkannya. Aku segera bergegas, mumpung cuaca bagus, semoga tidak ada angin badai di puncak.

Dari kejauhan, aku melihat dia. Perempuan seperjalanan melambaikan tangan dan tersenyum. Ya ampun, aku lupa menanyakan namanya. Kusebut dia "perempuan pejalan" saja. Tunggu aku, teriakku. Perempuan itu malah sigap pergi. Kenapa dia begitu cepat, kataku terengah. Puncak semakin dekat, bau belerang makin menyengat. Ke mana lagi dia? Pandanganku mulai nanar. Tiba-tiba puncak diselubungi kabut.

Aku berteriak, di mana dirimu perempuan pejalan? Semua gelap oleh kabut tebal. Aku mulai menangis panik. Aku harus mundur atau maju. Tempat menapak tak tampak. Aku terduduk dan menceracau tak jelas. Tuhan, keluarkan aku dari sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun