Mohon tunggu...
Faatima Seven
Faatima Seven Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Moody

Loves writing. Founder and Writer at Asmaraloka Publishing http://ayreviuyu.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekilas tentang Presiden The World Peace Committee HE Mr Djuyoto Suntani

5 Desember 2019   15:37 Diperbarui: 21 Juni 2021   10:53 17380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyerahkan cindera mata pada Ustad Sobri Lubis di Reuni 212. | dokpri

Anak Pelangi Yang Mati Suri Saat Dikhitan

SIAPAKAH Djuyoto Suntani yang namanya hampir selalu dikutip lengkap sebagai HE Mr. Djuyoto Suntani oleh media internasional?  Tiba-tiba saja namanya menggema di langit Jakarta seiring dengan momen Reuni 212 di Monas kemarin. 

Walaupun ia tak ada di panggung utama, tetapi di detik akhir pembubaran acara Reuni 212 tepat pukul 09.00, ia berada di Tenda VIP bersama Ustad Sobri Lubis, Yusuf Martak dan lainnya untuk menyerahkan sertifikat ketetapan The World Peace Committee  (TWPC) atau Komite Perdamaian Dunia tentang 2 Desember sebagai Hari Ukhuwah Dunia atau World Ukhuwah Day.

Baca juga: International World Peace Conference – Better Understanding for a Better World (BUBW)

Sebagai Presiden TWPC yang juga kelahiran Jepara Indonesia, Mr Djuyoto Suntani berkepentingan menyerahkan langsung sertifikat penetapan itu. Sayangnya hal itu tak digemakan di panggung di hadapan dua jutaan umat yang menghadiri Reuni karena acara sendiri telah dibubarkan menjelang jam sembilan.

Anak Pelangi dari Kampung Jepara
Lahir di sebuah perkampungan di Jepara, Jawa Tengah, sejak kecil Djuyoto Suntani dijuluki Anak Pelangi atau Anak Kuwung karena kakak dan adiknya meninggal dunia. Dalam adat setempat, anak yang lahir di antara kakak dan adik yang meninggal disebut Anak Pelangi. Dan ketika dikhitan, ia harus mengenakan kain Pelangi yakni kain bermotif pelangi agar ia menjadi Pelangi Semesta dan tidak bernasib buruk.

Masa kecilnya, YM Djuyoto lebih suka menyendiri dan hampir tak punya teman karena di antara teman-temannya cuma ia  sendiri yang sekolah. "Saya tak punya teman. Tiap hari saya merenung. Teman saya adalah alam. Saya berdialog dengan alam, dengan pohon dengan kambing dengan apa saja. " Dan bila ditanya hendak jadi apa ketika besar, ia menjawab, "Pemimpin dunia."

Dan kini, cetusan lidah bocah Djuyoto itu memang menjadi nyata. Ia adalah Presiden Komite Perdamaian Dunia atau President of The World Peace Committee (TWPC) yang didirikannya sejak 7 Maret 1997 di Basel, Swiss. Kala itu TWPC dideklarasikan oleh 9 pemimpin yang berasal dari 9 negara. Visi dan misi TWPC adalah Membangun Sebuah Keluarga Masyarakat Baru Bumi Dengan Hati. TWPC adalah satu-satunya institusi komunitas internasional yang memiliki sistem kepemimpinan yang kolektif dan selektif dari perwakilan 202 negara.

Menyerahkan cindera mata pada Ustad Sobri Lubis di Reuni 212. | dokpri
Menyerahkan cindera mata pada Ustad Sobri Lubis di Reuni 212. | dokpri
Sebuah karya dan pemikiran yang sangat nurani dan sangat layak apresiasi. Tatkala orang besar lain sibuk dengan hasrat kekuasaan dan hasrat menguasai dalam otorisasinya, Mr Djuyoto justeru sibuk menyatukan retakan-retakan yang terbelah akibat kesewenang-wenangan para pemimpin dunia. Dan ia adalah seorang Indonesia, seorang anak kampung dari Jepara. 

Baca juga: Aksi AS dan Barat di PBB untuk Uyghur Xinjiang dan Konter Tiongkok

Namanya lebih dikenal di internasional daripada di wilayah nasional. Ia memiliki ruang kantor pribadi di 202 negara tetapi kerinduan dan kebanggaannya terhadap Jepara telah menjadi denyut nadinya yang tak terputus.

Gong Perdamaian Dunia yang digagasnya telah dibangun di 49 negara tetapi pusatnya justeru di tanah kelahirannya di sebuah kampung di Jepara, Jawa Tengah. Bendera Merah Putih berkibar gagah di berbagai negara di samping Gong Gong Perdamaian, semata karena kerja nuraninya seorang Djuyoto Suntani, si Anak Pelangi.

Gong Perdamaian Dunia, pusatnya di Desa Plajan, Jepara, Jawa Tengah | kabarseputarmuria.com
Gong Perdamaian Dunia, pusatnya di Desa Plajan, Jepara, Jawa Tengah | kabarseputarmuria.com
Mati Suri Ketika Dikhitan
Bocah Djuyoto dikhitan usia 11 tahun dan mengenakan Kain Pelangi. Ia sempat meninggal karena kehabisan darah. Dalam kepergiannya pada dimensi lain, ia bertemu kakeknya dan kakeknya cuma bilang, "Kamu anak kecil, tak tahu apa-apa."  

Ia melihat orang-orang menangisinya tetapi ketika didekati dan disapa, mereka tak menjawab dan tak menolehnya. Mereka tetap menangisinya dan dari mulut mereka terucap nadzar-nadzar bahwa bila bocah ini hidup lagi akan dibelikan ini itu dan akan dibawa jiarah ke Sunan Muria dan lainnya. Setelah beberapa lama, Djuyoto merasa kedinginan. Ia pun berusaha mencari kehangatan dan masuk dalam selimutnya. Maka Djuyoto pun hidup kembali padahal tubuhnya sudah dikafani dan akan diberangkatkan menuju pemakaman. Kembalinya Djuyoto membuat kebahagiaan baru bagi keluarganya sehingga mereka masing-masing memenuhi nadzarnya.

Pribadi Sahaja Luar Biasa
Tatkala wawancara kemarin di sela breakfastnya di Resto Hotel Aryaduta, terus terang aku terpesona ketika melihat dua hapenya. Kedua screennya retak-retak  dan keduanya pun bukan dari sebuah merk yang dianggap prestisius. Aku membatin, tak susah baginya untuk punya hape high end dan baru tetapi yang dimilikinya... subhanallah. Membuatku makin respek padanya. He's a super extra ordinary man! 

Baca juga: Strategi Nasional HAM Uzbekistan Pasca Terpilihnya sebagai Dewan HAM PBB

Dan pula, kendati ia melanglang buana tiap saat di mana-mana dan memiliki kantor pribadi di 202 negara dan terhubung langsung dengan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, tak susah baginya memiliki paspor sebuah negara tertentu, tetapi yang tetap dipegangnya adalah Paspor Indonesia yang ketika di berbagai bandara selalu dipelototi lama-lama oleh petugas keimigrasian. Dan bukannya ia tak menyadari itu. Justeru sangat menyadari.

Wawancara Penulis dengan HE Mr Djuyoto Suntani paska Reuni 212. | dokpri
Wawancara Penulis dengan HE Mr Djuyoto Suntani paska Reuni 212. | dokpri
Sangat betul memang. Tetapi itulah Mr Djuyoto Suntani. Ia membuktikan kepeloporannya dalam hasrat mewujudkan perdamaian dunia. Khusus konflik Israel -- Palestina, dialah  yang menetapkan Yerussalem sebagai The Capital of World Peace atau Ibukota Perdamaian Dunia di tahun 2018. Kita sepantasnya bangga memiliki seorang Djuyoto Suntani yang memiliki dunia tersendiri tetapi justeru untuk merangkul seluruh elemen untuk bersatu dan menyatu menjadi masyarakat bumi nan damai. Visi dan orientasi semesta.

"Bayangkan, paspor Indonesia saya
dilihat lama-lama sementara orang saya dari Malaysia ini, Yang Mulia Omar, ia tak perlu visa ke mana-mana," katanya tertawa.

Ia adalah sosok angka 9 yang memanifestasikan dirinya dalam memerangi keangkaramurkaan. Ia tak bisa dilawan karena sebagai angka 9, ia adalah tertinggi dalam urutannya. Makanya saat Reuni 212 kemarin ia terlambat datang. Padahal ia telah berusaha datang sepagi mungkin dan sengaja nginap di hotel terdekat Monas. Tetapi mobil yang membawanya tersasar ke mana-mana dan tiba di Tenda VIP pas jam 9. Itulah.(fs)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun