Gong Perdamaian Dunia yang digagasnya telah dibangun di 49 negara tetapi pusatnya justeru di tanah kelahirannya di sebuah kampung di Jepara, Jawa Tengah. Bendera Merah Putih berkibar gagah di berbagai negara di samping Gong Gong Perdamaian, semata karena kerja nuraninya seorang Djuyoto Suntani, si Anak Pelangi.
Bocah Djuyoto dikhitan usia 11 tahun dan mengenakan Kain Pelangi. Ia sempat meninggal karena kehabisan darah. Dalam kepergiannya pada dimensi lain, ia bertemu kakeknya dan kakeknya cuma bilang, "Kamu anak kecil, tak tahu apa-apa." Â
Ia melihat orang-orang menangisinya tetapi ketika didekati dan disapa, mereka tak menjawab dan tak menolehnya. Mereka tetap menangisinya dan dari mulut mereka terucap nadzar-nadzar bahwa bila bocah ini hidup lagi akan dibelikan ini itu dan akan dibawa jiarah ke Sunan Muria dan lainnya. Setelah beberapa lama, Djuyoto merasa kedinginan. Ia pun berusaha mencari kehangatan dan masuk dalam selimutnya. Maka Djuyoto pun hidup kembali padahal tubuhnya sudah dikafani dan akan diberangkatkan menuju pemakaman. Kembalinya Djuyoto membuat kebahagiaan baru bagi keluarganya sehingga mereka masing-masing memenuhi nadzarnya.
Pribadi Sahaja Luar Biasa
Tatkala wawancara kemarin di sela breakfastnya di Resto Hotel Aryaduta, terus terang aku terpesona ketika melihat dua hapenya. Kedua screennya retak-retak  dan keduanya pun bukan dari sebuah merk yang dianggap prestisius. Aku membatin, tak susah baginya untuk punya hape high end dan baru tetapi yang dimilikinya... subhanallah. Membuatku makin respek padanya. He's a super extra ordinary man!Â
Baca juga: Strategi Nasional HAM Uzbekistan Pasca Terpilihnya sebagai Dewan HAM PBB
Dan pula, kendati ia melanglang buana tiap saat di mana-mana dan memiliki kantor pribadi di 202 negara dan terhubung langsung dengan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, tak susah baginya memiliki paspor sebuah negara tertentu, tetapi yang tetap dipegangnya adalah Paspor Indonesia yang ketika di berbagai bandara selalu dipelototi lama-lama oleh petugas keimigrasian. Dan bukannya ia tak menyadari itu. Justeru sangat menyadari.
"Bayangkan, paspor Indonesia saya
dilihat lama-lama sementara orang saya dari Malaysia ini, Yang Mulia Omar, ia tak perlu visa ke mana-mana," katanya tertawa.
Ia adalah sosok angka 9 yang memanifestasikan dirinya dalam memerangi keangkaramurkaan. Ia tak bisa dilawan karena sebagai angka 9, ia adalah tertinggi dalam urutannya. Makanya saat Reuni 212 kemarin ia terlambat datang. Padahal ia telah berusaha datang sepagi mungkin dan sengaja nginap di hotel terdekat Monas. Tetapi mobil yang membawanya tersasar ke mana-mana dan tiba di Tenda VIP pas jam 9. Itulah.(fs)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H