Ada sebuah peraturan tidak tertulis di dalam GAM. Peraturan tersebut adalah pantang menanyakan posisi. Kami hanya boleh mengatakan, "Kami berada di wilayah berdaulat, meski dalam keadaan terkepung". Oleh karena itu saya tidak mungkin menanyakan posisi Muallim, dan tidak mungkin juga saya titipkan surat itu kepada orang lain karena sangat berbahaya.
Pertengahan April 2005, berlangsung perundingan GAM-RI putaran ketiga yang digagas oleh CMI pimpinan Mantan Presiden Finlandia, Marti Atasari. Di saat yang bersamaan, saya dan Chalidin Gayo memegang naskah Tawaran Damai kepada pasukan GAM yang isinya 23 Poin; antara lain memberikan aset Pemerintah Pusat kepada pasukan GAM dan mendapatkan pekerjaan dan tabungan abadi.
Namun sebelum membacakan surat itu melalui hubungan telepon selular, kami mewanti-mewanti Muallim, bahwa kami tidak ada niat untuk berkhianat dan mengatakan kepada Muallim, "Sebaik-baik musuh adalah tetap musuh, Muallim" kata saya menegaskan. Lalu kami bacakan surat tersebut kepada Muallim sebanyak tiga lembar. Setiap selesai membaca satu halaman, saya menengahi dengan bilang, "nyoe haba musuh, Muallim" Â (ini kata musuh) dan Muallim hanya menjawab, "Get (iya)" .
Saat itu hingga momen perjanjian damai antara GAM-RI yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005, saya tidak pernah lagi berjumpa dengan Muallim. Namun komunikasi kami tetap intens karena menjelang perundingan di Helsinky, banyak berita-berita "info mameh" atau berita gembira (angin surga) dari luar negeri yang harus disampaikan kepada pasukan.Â
Sejak berpisah dengan Muallim pada Desember 2004 di wilayah Bateeilek, saya baru bertemu kembali sepuluh bulan kemudian pada Oktober 2005. Dan saat itulah saya serahkan langsung surat amanah itu kepada Muallim pada pertemuan pembentukan organisasi transformasi dari GAM kepada KPA (Komite Peralihan Aceh) di Meureu, Aceh Besar, Oktober 2005.
GAM-RI damai sudah. Aceh kembali pada pangkuan Ibu Pertiwi. Tahunan berlalu tanpa terasa. Sekitar 20 Maret 2015, Â tiba-tiba saya mendapat telpon dari seseorang yang mengaku pernah membantu Ibu saya saat berurusan dengan Kodim. Dan dia juga menyinggung surat damai yang dibawanya dari Jusuf Kalla untuk Muallim yang dititipkannya pada Ibu saya di Takengon. Lantas dia bertanya, "Masih ingat siapa saya?"
Mengenang semua yang diceritakannya, tanpa pikir lama seketika saya jawab, "Pak Ibrahim tentu saja."
"Sebenarnya nama saya Doni Monardo. Saya dari TNI," katanya.
Saya terdiam. Kelu. "Dan saat ini jabatan saya adalah Danjen Kopassus. Untuk mengenang kisah Aceh, saya ingin mengundang Pak Fauzan ke Jakarta dalam rangka memperingati ulangtahun Kopassus ke 63 di Markas Kopassus Cijantung."
Benak saya berkecamuk. Satu sisi saya merasa dibohongi. Tapi bagaimanapun dia telah membantu Ibu saya. Membebaskan Ibu dari wajib lapor ke Kodim 0106 Aceh Tengah. Dan adapun Surat Damai dari Jusuf Kalla waktu itu, menurut Pak Doni awalnya diserahkan kepada Aswin Manaf (abang kandung Muallim) tetapi Aswin Manaf tidak pernah komunikasi dengan Muzakkir Manaf sehingga Aswin Manaf meminta tolong kepada Pak Doni untuk menyerahkan surat itu langsung kepada Muzakkir Manaf.
Dan menurut Pak Doni, secara  feeling, ia yakin  bahwa posisi Muzakir Manaf pasti berada di wilayah selatan yakni daerah Gayo. Maka ia berusaha menghubungi Panglima di wilayah Linge, Gayo, sehingga  terhubunglah dia dengan saya yang waktu itu adalah Panglima GAM Wilayah Linge. Subhanallah. Saya merasa bahwa Pak Doni Monardo memang seorang berhati baik dan berniat lurus. Kalau mau, dia bisa saja mencelakai ibu saya saat itu atau apapun itu untuk menjebak saya.Â