Di saat yang bersamaan, kami mencari "wilayah berdaulat" di daerah Alue Gatai yang terletak antara Krueng Mane dan Matang Geukumpang Dua. Kami menganggap Alue Gatai merupakan sebuah daerah yang betul-betul "keramat". Meski luasnya hanya 100 meter persegi, tetapi tidak pernah terjadi kontak senjata di sana. Padahal tempat tersebut beberapa kali di kepung, tapi TNI tidak pernah sampai ke sana.
Pada 24 Desember 2004, kami berada di sana dalam keadaan kekeringan tanpa setetes air. Namun, Allahu Akbar, saat itu tiba-tiba tsunami mengguncang Aceh. Setelah gempa besar dengan gelombang tsunami itu, air mengalir dengan derasnya. Pasukan Linge saat itu dalam posisi terkepung. Namun karena tsunami, pasukan TNI kembali ke markas masing-masing, dan tidak pernah bisa menembus wilayah Alue Gatai.
Di wilayah Alue Gatai inilah saya dihubungi oleh seorang bernama Ibrahim, tepatnya pada Februari 2005. Beliau menghubungi langsung nomor pribadi saya. Kendati  sedikit heran darimana ia tahu nomor saya, tapi saya memutuskan tak bertanya karena ia mengaku sebagai seorang pengusaha asal Jakarta yang sedang mengerjakan proyek rehabilitasi setelah tsunami Aceh.Â
Saat itu saya percaya saja dengannya karena selain bahasanya sangat halus dan sopan, konteksnya menghubungi saya pun tidak dalam perkara perjuangan GAM. Ia justru lebih mengarah pada silaturahmi kekeluargaan dan menanyakan kabar saya, ibu, dan keluarga saya. Dalam benak saya waktu itu, pastinya Ibrahim adalah seorang Pengusaha Aceh yang peduli dengan perjuangan GAM.
Padanya saya bilang, "Kalau benar mau membantu GAM, tolonglah Bapak bebaskan ibu saya, jangan lagi wajib lapor ke Kodim" pinta saya kepada Ibrahim.
Ibu saya yang bernama Rusmawati adalah Kepala Sekolah Dasar di Simpang Bahgie, kecamatan Bandar, Bener Meriah. Saat itu ibu saya terpaksa harus bolak balik dipanggil oleh Aparat Kodim 0106 Aceh Tengah karena menerima transfer dana dari salah seorang kepercayaan Muzakkir Manaf, sebanyak 20 juta rupiah. Uang tersebut diteruskan kepada saya dan selanjutnya saya serahkan kepada Muzakkir Manaf. Maka saat itu, Pak Ibrahim hadir sebagai penolong bagi Ibu saya. Beliau berhasil membebaskan ibu saya dari wajib lapor tersebut.
Ternyata kehadiran Ibrahim juga untuk menyampaikan amanah, yakni sebuah surat yang ditujukan kepada Muzakkir Manaf. Menurutnya, surat tersebut berasal dari Jusuf Kalla. Saat itu muncul rasa cemas dan kekhawatiran dalam hati saya. Sebagaimana kekhawatiran pejuang GAM lainnya adalah dicap sebagai pengkhianat.Â
Tidak sedikit pejuang GAM yang berhubungan dengan pihak Indonesia akhirnya diputuskan hubungannya di lapangan maupun pimpinan GAM di luar negeri. Perang batin yang berkecamuk inilah musabab saya semakin khawatir. Di satu sisi Pak Ibrahim telah membebaskan ibu saya dari wajib lapor kepada Kodim 0106 Aceh Tengah. Namun di sisi lain, kalau saya menerima surat tersebut, saya dianggap berhubungan dengan musuh, yang ujung-ujungnya dicap sebagai pengkhianat.
Jujur saja, saya berpikir ekstra keras pada waktu itu. Muncul beberapa pertanyaan dalam hati saya. Antara lain: "apakah tawaran ini saya terima?", "Apa akibatnya kalau surat itu saya terima?", "Jangan-jangan nanti dicap pengkhianat karena Teungku Abdullah Syafi'i juga dikabarkan syahid karena surat yang disampaikan Gubernur Abdullah Puteh?" Di saat kecemasan dan rasa khawatir yang mendalam itu, Ibrahim mengatakan, "Suratnya nanti saya titip sama Ibu di Takengon, ya!". Sayapun tidak bisa berkata-kata kecuali menjawab, "Iya Pak!".
Untuk mengurangi rasa cemas dan khawatir, saya selalu berdiskusi dan berkonsultasi dengan Teungku Chalidin Gayo (Jangko Mara), selaku wakil Panglima GAM wilayah Linge yang sangat dekat dengan Muallim. Secara rinci dan detail, apapun komunikasi saya dengan Ibrahim selalu saya sampaikan, termasuk perihal titipan surat dari Jusuf Kalla untuk Muallim.Â
Bagaimana cara menyampaikan surat tersebut kepada Muallim juga menjadi sebuah diskusi yang cukup intens antara saya dan Jangko Mara. Surat tersebut tiba di tangan saya pada Maret 2005, saat saya berada di daerah Alue Gatai.