Lihat saja ditanah Batak misalnya, sebelum kehadiran Nomensen didahului oleh beberapa penyebar yang gagal. Mereka kurang bisa melakukan kontak sosial pada masyarakat setempat, setelah Nomensen datang, Nomensen mencoba pendekatan dengan kultur dan budaya. Dan ternyata cara ini juga ampuh dalam menyebarkan agama tersebut. Contohnya, adanya gereja persatuan sub suku Batak yang embrionya dibentuk oleh Nomensen pada masa itu yg terus berkembang sampai sekarang. Walaupun penyebaran agama Kristen identik dengan orang-orang Eropa yang kemudian menjajah, namun mereka tidak bisa tidak melakukan penyebaran agama tanpa pendekatan budaya guna meminimalisir pemberontakan dan membendung kekuatan islam yang telah dulu ada.
PENUTUP
Konteks agama yang dipandang bung Karno adalah dimana manusia dapat berhubungan dengan Tuhan dan manusia lain serta mesti di manifestasikan dengan jelas. Pada pidato Honoris causadidepan IAIN Jakarta tahun 1964 antara lain : “… kalau saudara tanya, apakah bung Karno itu percaya kepada Tuhan? Saya menjawab iya saya percaya kepada Tuhan. Malahan sebagai kukatakan berulang-ulang, saya hidup diberi karunia Tuhan. Hidup menurut anggapan saya untuk apa?...., untuk mengabdi kepada Tuhan yang maha esa, mengabdi kepada tanah air, mengabdi kepada bangsa, mengabdi kepada cita-cita. Saya sebutkan Tuhan Yang Maha Esa yang nomor satu oleh karena bagi saya tanah air itu amanat tuhan kepada kita.
Nah itu bisa dimengerti masuk akal. Tetapi kalau bung Karno berkata negara harus berTuhan, bagaimana negara kok berTuhan? Apa negara itu punya jiwa? Nah saudara-saudara ada pertanyaan yang demikian itu. Jadi dulu suadara-saudara, inilah salah satu contoh daripada pengertian saya Ushuluddin segala yang "kumelip" di dunia ini, ya manusia, ya binatang, ya pohon, ya gunung, ya laut, ya batu kerikil, ya negara, harus menyembah kepada Tuhan. Tuhan yang dari seru sekalian alam. Tuhan dari negara, sebab negara itupun berada di alam Ini.”Maka dari pidato Honoris causa di depana IAIN Jakarta ditegaskan lagi oleh bung karno, karena itu ”dengan keyakinan itu saya berkata negara yang tidak menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak berTuhan, akhirnya celaka dan lenyap dari muka bumi ini.”. Pengejewantahan dari mencintai Tuhan itu, maka menurut bung Karno adalah mencintai seluruh makhluk alam ini, baik yang bernyawa maupun tidak. Nasionalisme bung Karno dilengkapi dengan wawasan kemanusiaan yang sangat luas sehingga mencintai Tuhan dilihat tidak hanya dari kecakapan agamanya saja, namun hubungannya terhadap bangsa, negara, dan umat manusia.
Bung Karno menyelami sejarah akan hadirnya agama-agama besar yang ada di Indonesia saat ini. Bung karno menyadari betul bahwa penyebaran agama-agama tersebut melalui proses akulturasi dimana kebudayaan nusantara yang terbentuk menerima kebudayaan asing lalu kebudayaan itu secara perlahan diterima oleh masyarakat tanpa menghilangkan kebudayaan asli sehingga kebudayaan yang ada menjadi sangat kaya dan akomodatif.
Agama dan budaya terjalin secara harmonis keduanya tidak saling merusak, keduanya merupakan jalinan yang berkelindan secara harmonis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Kebudayaan nasional kita menjadi kebanggaan dan penentu jati diri bangsa kita. Lalu mengapa kita menjadi kearab-araban, keindia-indiaan , kebarat-baratan? Kemudian kita membuang sama sekali adat istiadat, budaya, dan kultur kita? Ingatlah bila kita meniru barat, secara tak sadar membawa imperialisme kebudayaan, bila kita meniru arab secara tak sadar, kita membawa budaya arab “baduy” , arab padang pasir, kekolotan, abunya islam bukan apinya, jubah dan celak mata, peradaban yang gagap memegang senjata dan granat tangan karena telah terbiasa berperang memegang pedang dan menunggang kuda. Ujungnya sampai kepada radikalisme dan fanatisme. Bila kita meniru negara lain, kita akan menjadi bangsa yang lembek ,cengeng, tidak percaya diri dan tidak berdiri diatas kaki sendiri.
Mengenai kebudayaan nasional, Bung Karno berbicara di Manifesto politik “Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi, dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa dikalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa dikalangan engkau banyak yang masih rock-n’roll-rock’nrollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngakngik-ngek gila-gilaan, dan lainlain sebagainya lagi? Kenapa dikalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan? Pemerintah akan melindungi kebudayaan nasional, dan akan membantu berkembangnya kebudayaan nasional tetapi engkau pemuda-pemudipun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan dan melindungi serta memperkembangkan kebudayaan nasional!”.
Disini kita melihat pendirian Bung Karno mengedepankan kultur dan budaya nusantara, menjadi benteng terhadap imperialisme bangsa asing. Mengembangkan maksud Bung Karno yaitu, kita menerima kebudayaan asing yang kita buang semangat imperialismenya, kita buang semangat radikalisme, fanatismenya, kebudayaan lokal juga kita buang semangat feodalismenya. Sehingga tidak ada satupun dari kita yang bangga dengan fanatismenya, bangga ia berjenggot namun memandang rendah orang yang tidak berjenggot, bangga dengan hijab dan cadarnya namun memandang rendah saudaranya yang tidak berhijab.Bangga dengan kebaratannya dan memandang rendah saudaranya yang Indonesia asli. Itu adalah sebuah kesia-siaan belaka.
Dengan kita menerima secara mentah-mentah budaya asing, maka akan berpengaruh kepada cara berpikir, cara hidup, komunikasi, dan lebih lanjut berpengaruh kepada peradaban itu sendiri. Telah terjadi krisis moral dan perpecahan apabila kita tidak menemukan jati diri sendiri. Dilain pihak kita berteriak-teriak saat budaya dan adat istiadat kita dicaplok negara lain, namun kita tidak sadar bahwa itu adalah penyebab dari ketidakpedulian kita selama ini.
Didalam kisah ramayana disebutkan adanya nama Jawadwipa, pulau yang kaya dengan tambang emas dan perak. Nama Jawadwipa juga sudah dikenal oleh seorang geografi Yunani,Ptolomeus, pada awal tarikh masehi dengan nama Labadiu.Jadi nama kepulauan Indonesia sudah ditulis lama oleh penulis barat pada awal-awal tahun masehi. Labadiu artinya pulau padi, dan juga dikenal Jawadwipa. Kita jangan sampai tertipu bahwa peradaban dibarat adalah peradaban superior sedangkan ditimur dalah inferior. Matahari terbit dari sebelah timur, waktu dunia dimulai dari timur, pantaslah peradaban berasal dari timur. Kolonialisme barat yang begitu panjang bagi dinegara-negara timur telah menimbulkan luka yang teramat dalam, dan menghasilkan banyak rasa rendah diri.
Kebanyakan penduduk asli negara-negara timur tidak percaya diri dengan kebudayaan nasional yang dimilikinya dan cenderung dengan kebudayaan asing. Ditengah era globalisasi ini, tak hanya barat yang menancapkan kukunya kepada kita, namun negara-negara timur yang telah maju juga berlomba-lomba mencengkramkan kukunya kepada kita. Bangsa kita dihantam dari dalam dan luar, namun kita harus bertahan. Tidak berlebihan bila Malcom X melakukan sindiran terhadap seorang pemuda negro yang mencat rambutnya dengan warna pirang; “kulit putih telah mengajar anda untuk membenci diri anda sendiri, dengan menyuruh kita mengecat rambut agar serupa dengan rambut mereka” (Alex Haley,1995). Lalu bagaimana dengan kebudayaan bangsa lain? Apa kita masih tidak sadar kita telah dicengkram bangsa lain? Pembaca sendiri yang mengartikannya.