Peradaban pada masa itu erat kaitannya dengan posisi perempuan, disaat laki-laki hanya mengetahui cara berburu, perempuan sudah mendapatkan cara berkebun dan bertempat tinggal. Ya, adalah perempuan yang memulai sebuah era baru dalam evolusi peradaban itu, ya jasa perempuan yang tidak dapat ditinggalkan. Maka Bung Karno mengatakan dalam sarinah : “Janganlah laki-laki mengira bahwa ia dapat maju dan subur ,kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula. Janganlah laki-laki mengira bahwa bisa ditanam sesuatu kultur, kalau perempuan dihinakan dalam kultur itu…”.
Peradaban semakin maju, pada masa itu mereka mengharapkan upaya dari kekuatan yang lebih besar agar panennya bisa tumbuh dengan baik, buruannya banyak didapat lalu muncullah ritual-ritual yang didasarkan insting ketakutan memohon kepada arwah leluhur, nenek moyang. Dari sinilah muncul kepercayaan masyarakat pada masa itu yang kita kenal sekarang animisme.
Perkembangan selanjutnya manusia memang memiliki watak dasar mempelajari segala sesuatu, segala proses yang ada. Pada masa itu mereka telah bertempat tinggal didalam gua-gua, didalam gubuk-gubuk sederhana sehingga mereka beranggapan bahwa leluhur,arwah nenek moyang perlulah untuk dicarikan tempat tinggalnya, sebagaimana manusia memerlukan tempat untuk berlindung. Lalu mereka mengambil benda-benda langka sebagai media, sebagai perwujudan tempat tinggal arwah nenek moyang yakni batu besar dan pohon besar.
Disinilah perkembangan animisme menjadi dinamisme. Mereka menyembah pohon besar itu sebagai representasi dari arwah nenek moyang yang bersangkar pada media tersebut. Disinilah mulai muncul kearifan bagaimana tidak boleh menebang pohon sembarangan (karena ada pohon tertentu yang ditinggali arwah nenek moyang,) tidak boleh berburu sembarangan yang secara tidak langsung berhubungan dengan keadaan dan keberlangsungan alam sekitar.
Ritual pada masa itu telah berkembang, yang pada mulanya dilakukan secara sendiri-sendiri,pada masa itu dipimpin oleh seseorang yang dianggap memiliki kedekatan, memiliki kecakapan, untuk memimpin ritual peribadatan. Lalu si pemimpin ritual ini bertugas memimpin orang-orangnya menentukan kapan waktu ibadah, dan apa-apa yang harus dipatuhi. Posisi kepala ritual ini seiring kemajuan waktu berubah menjadi kepala suku, ia memiliki wewenang yang lebih luas lagi tidak hanya didalam ritual saja namun sampai kepada hal-hal yang menyangkut keseharian masyarakatnya. Ia yang menentukan kapan musim bertanam, panen, berburu, menikah, membangun tempat tinggal dan lainnya. Secara tidak langsung, tatanan masyarakat berangsur berkembang,
Kedatangan ras proto melayu, deutro melayu, melanesoid serta ras lainnya ke nusantara ini berawal dari migrasi besar-besaran yang disebabkan oleh kondisi alam, perebutan mencari lahan yang subur dan lain sebagainya. Ras-ras ini kemudian melebur dengan penduduk asli. Disinilah lahirnya proses akulturasi yang paling pertama. Disinilah muncul suku batak, dayak, sunda, bugis, jawa, toraja, hingga papua.
Bila kita cermati suku-suku di Indonesia ini memiliki akar budaya dan akar bahasa yang sama. Disinilah perkembangan bahasa muncul, karena bahasa identik dengan peradaban maka ada perbedaan bahasa diantara suku-suku yg memiliki tempat tinggal dan corak yg berbeda namun masih dalam akar dan rumpun yang sama. Dari segi kepercayaan, mereka kemudian menggunakan artefak-artefak, sarkofagus hingga menhir untuk ritual. Benda-benda itu digunakan untuk memberi penghormatan kepada orang yang wafat, apalagi orang yang wafat tersebut memiliki status sosial yang tinggi seperti kepalu ritual, kepala adat hingga kepala suku. Inilah salah satu peradaban awal hingga perkembangannya pada masa nenek moyang kita.
MASA HINDU DAN BUDHA
Perkembangan selanjutnya yaitu masuknya pengaruh hindu dan budha. Agama hindu berasal dari daratan india, dilembah sungai Indus India selatan. Masuknya hindu dan budha sekali lagi juga menggunakan pendekatan kultural dan budaya sehingga proses akulturasi kembali terjadi. Adanya jalinan budaya luar yang masuk pada saat itu dengan budaya asli, yang berkembang secara gradual membentuk sebuah kebudayaan baru yang masih diilhami kebudayaan asli. Perpaduan itu baik berupa benda dan tak benda.
Masuknya pengaruh hindu kembali lagi mempengaruhi perkembangan masyarakat dinusantara. Kepala suku asli yang kita bahas sebelumnya,seseorang yang memiliki otoritas atas masyarakatnya dan klaim atas wilayahnya, telah membentuk sebuah monarchi kecil dan menjadi penguasa sukunya. Mereka melakukan penjelajahan kewilayah lain, yang awalnya bersifat nomaden kemudian mereka menemukan tempat yang cocok dan pas untuk tinggal serta bercocok tanam. Hubungan sosial dengan suku-suku lain dijalin baik melalui jalur barter komoditas ataupun pernikahan.
Kedatangan orang-orang dari sungai Indus untuk berdagang, menukarkan komoditasnya dengan komoditas lokal yang bermutu tinggi disambut baik oleh penduduk nusantara. Disinilah terjadi kontak sosial pertama melalui perdagangan dengan orang-orang asing. Dari situlah datang kaum brahmana yang juga menyebarkan ajaran hindu dinusantara. Para pemuka-pemuka ini cukup mempengaruhi raja-raja, kepala-kepala suku agar mengadopsi nilai-nilai hindu didalam tatanan masyarakatnya.