Mohon tunggu...
Fatah Baginda Gorby Siregar
Fatah Baginda Gorby Siregar Mohon Tunggu... -

-Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia - Ketua Komisi Politik Konferensi Cabang XIX GMNI Kota Medan -Ketua Lembaga Studi Elang-Rajawali Indonesia - Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengulik Ucapan Bung Karno "Kalau Jadi Orang Islam Jangan Jadi Orang Arab..."

29 Januari 2017   04:52 Diperbarui: 29 Januari 2017   12:51 27929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Ucapan Bung Karno itu lebih lengkapnya seperti ini “Kalau jadi hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang islam jangan jadi orang Arab, kalau kristen jangan jadi orang yahudi, tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini”. Akhir-akhir ini menjadi pembahasan yang hangat baik dikalangan media massa ataupun didunia maya, dan terkhusus netizen sendiri. 

Sekilas orang mendengarnya, langsung berpandangan apakah Bung Karno orang yang anti arab? Timbul banyak dugaan-dugaan, dan ujung-ujungnya fitnah kepada Bapak Bangsa kita ini. Ucapan Bung Karno ini dipelintir begitu saja oleh beberapa kalangan , dijadikan isu politik guna mencari simpatik, dan mendiskreditkan ajaran Bung Karno itu sendiri. Apakah seseorang yang menerima nama gelar dari raja Arab Saudi, bintang kehormatan dari Sri Paus, dan penghormatan yg setingginya dari negara lain disebut anti asing? Sama sekali tidak! Bahkan dengan Belanda sendiri Bung Karno tidak membenci orang belanda, yang dilawan Bung Karno adalah sistem kolonial dan imperialisme. Ini selaras dengan perkataan Bung Karno diatas yang dilawan adalah imperialismenya, yang merusak cara hidup bangsa Indonesia , yang secara tak sadar masuk yang tentunya merusak sendi kehidupan sosial bernegara kita.

Dari disini bila kita mendengar atau membaca sepenggal saja dari ungkapan Bung Karno itu maka kita pastinya terheran-heran. Bila kita telisik lebih dalam, ucapan tersebut adalah yang berjenis induktif, penekanannya terletak di akhir kalimat, “tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya ini.” Dari sini kita harus melihat, tetaplah menjadi orang nusantara, tetaplah menjadi pribadi nusantara, bukan orang yang gemar mengekor bangsa lain, tetap berpegang pada kultur, adat dan budaya bangsa kita yang sedemikian kaya. Lalu timbul pertanyaan mana yang lebih baik, “orang islam yang arab, atau orang islam yang nusantara? orang hindu yang India atau orang hindu yang nusantara? orang kristen yang barat atau orang Kristen yang nusantara?”

Bung Karno seorang nasionalis, seseorang yang sangat mengedepankan kebudayaan nasional. Kebudayaan dijadikan alat perjuangan, benteng untuk menahan kolonialisme dan imperialisme. Imperialisme yang dimaksud ialah nafsu untuk menguasai, nafsu untuk menguasai ekonomi, politik, sosial dan budaya negara lain. Kebudayaan nasional nilai Bung Karno dijadikan alat pemersatu bangsa.

Dari kebudayaan,bangsa asing menancapkan politik pecah belahnya yang menggerus jati diri bangsa.  Masih ingat “holands dekken” , cara berpikirnya orang Belanda yang sangat dibenci Bung Karno.  Sampai akhir hayatnya Bung Karno melawan kolonialisme, imperialisme dan bahkan didalam pidato-pidatonya, ia memprediksi neo-kolonialisme , neo-imperialisme yang akan datang dimasa depan. Dia tidak hanya imperialisme fisik, namun ia imperialisme yang halus, yang tidak tampak ,salah satunya adalah imperialisme kebudayaan itu sendiri.

Bung Karno sama sekali tidak menolak agama, karena ia adalah orang yang beragama. Namun seorang yang beragama, dengan berwawasan kebangsaan yang luas, yang menumbuhkan peri-kemanusiaan antar bangsa, dan kasih sayang dengan semua mahluk. Ajaran agama, ketauhidannya bila didalam islam yang harus kita tempuh kita patuhi, dan jangan membebek saja dengan kebudayaan bangsa lain sehingga kita adalah bangsa yang tidak mempunyai jati diri. 

Didalam buku Dibawah Bendera Revolusi hal.497, Bung Karno menulis “Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina kepada simiskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain , menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dosa yang terbesar ,dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina simiskin, makan haknya anak yatim , memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan,- maka tidak banyak orang yang akan menunjuk tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir!  Inilah gambarnya jiwa islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi. Terlalu terikat kepada “uiterlijke vormen” tidak  menyala-nyalakan “intrinsieke warden”…”.

Maksud Bung Karno disini adalah isi bukan kulit. Agama adalah sebuah jalan manusia mendekatkan diri pada sang pencipta. Lalu mengapa kita saling membunuh, saling menyudutkan, ingkar-mengingkari bila orang lain berbeda dengan kita? Bila kita memandang dari sudut historisitas, sejarah masuknya agama kedalam bumi nusantara ini menggunakan pendekatan kultural yang harmonis. Bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang theistik, bangsa yang memiliki kepribadian bertuhan. Bangsa yang ramah, yang menerima kultur dan budaya asing namun tetap mempertahankan budaya diri sendiri. Bangsa yang terbuka, bangsa yang bisa membaur dan bisa berbaur oleh adat dan kebudayaan lain. Adalah karena kebesaran budaya kita, kita mengenal budaya lain bukan sebaliknya.

Bila kita kembali ke zaman pra hindu, nenek moyang kita memiliki banyak peninggalan, warisan , dan tradisi. Salah satunya bagaimana cara kita melakukan hubungan dialogis dengan alam sekitar, dan antar manusia.  Kebudayaan kita merupakan kebudayaan purba, dan erat kaitannya dengan perkembangan sebuah peradaban. Ini dibuktikan penemuan fosil manusia purba, yang kita sebut manusia jawa. Megantrophus dan Phitecantropus ditemukan dibumi kita. Belum lagi eksistensi komodo, sibinatang purba yang masih ada sampai sekarang, juga berada dibumi kita. 

Manusia-manusia ini melewati beberapa periode, perkembangan di bumi kita. Dimulai dari periode berburu, dan dilanjutkan dengan periode bercocok tanam. Dengan kata lain nusantara ini dulunya, bukan lahan kosong yang tidak berpenghuni,  namun memiliki penghuni dengan segala embrio peradaban yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Tanah kita yang subur, iklim yang tropis menjadikan faktor utama orang-orang zaman dahulu mencari nusantara ini. Perkembangan food gathering menjadi food producing mengharuskan manusia mencari lahan untuk bercocok tanam. Kehidupan yang awalnya berburu, maju menjadi kehidupan bercocok tanam. Ya, di bumi nusantara inilah penggunaan teknologi pertanian yang paling awal. Manusia mengamati tumbuhan yang tumbuh dari tanah, hujan yang menyuburkannya, ia kemudian meramu akar-akaran , melihat hujan, menanamnya menjadi umbi dan kemudian memanennya. Hal yang paling sederhana, namun disini letak evolusinya peradaban itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun