Mohon tunggu...
Fasih Radiana
Fasih Radiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Kalimatku sederhana, hanya ingin berbagi cinta lewat sederet kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Broken Home Bukan Alasan Mengabaikan Tuhan

6 Desember 2012   01:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:07 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada yang bilang menyimpang dari aturan adalah tuntutan kehidupan. Yang katanya kejam, tidak menempatkan dirinya pada yang namanya keadilan. Bukankah memang begitu cara Tuhan menguji kesabaran dalam penantian?

"Ayah Ibuku sudah lama bercerai, aku hanya dihidupi oleh seorang Ibu yang harus mondar-mandir banting tulang sendirian."

Alasan pertama membenci kehidupan. Membenci semua pria sebab ibunya ditinggalkan. Buat apa lagi lelaki menggenapi? Toh, nyatanya Ibuku bisa hidup sendiri.

"Ibuku berselingkuh sebab katanya Ayah tak bisa membuatnya bahagia."

Alasan mengapa aku mempermainkan keadaan. Memainkan peran untuk menggandeng jemari yang berbeda setiap hari. Aku bisa merengek kesana kemari sesuka hati. Meminta ini itu pada lelaki mana pun. Bukankah Ibu adalah panutan? Bukankah begitu yang Ibu ajarkan?

"Ayahku pemabuk berat, setiap hari memukuli Ibuku. Lebam di sekujur tubuhku pun jadi saksi bisu."

Alasan sebatang rokok adalah penghilang pilu. Ada rasa yang melegakan di setiap hisapannya. Menghilangkan pekat yang membayangi setiap pukulan yang selalu berdentam-dentam di telingaku. Sabu-sabu jadi pilihan kedua, aku bisa menghirup ketenangan di balik kegetiran. Aku bisa merasakan kehidupan yang bebas tanpa masalah yang selalu saja jadi hidangan.

"Ayah dan Ibuku hanya seorang pemulung. Bisa apa untuk mencukupi kebutuhanku? Kami tinggal di gubuk kecil yang terbuat dari triplek, aku bahkan tak bisa meluruskan kakiku sendiri."

Alasan aku lebih suka menepi, sendiri. Dicaci maki sudah jadi makanan sehari-hari hanya karena aku seorang yang fakir miskin. Begitu mudah semua menghina, melempariku dengan tatapan "jijik". Aku benci orang tuaku, sebab mereka membuatku malu. Aku tidak layak belajar, aku juga tidak ingin belajar di sekolah. Aku tidak punya fasilitas seperti yang dimiliki teman-teman. Aku benci orang tuaku sebab mereka bukan yang pandai mencetak lembaran uang.

"Aku seorang penghuni panti asuhan, tak pernah mengenal kasih sayang orang tua," atau "Orang tuaku pebisnis yang sukses, setiap hari bergelut dengan kehidupan yang bergelimang harta. Mencari uang adalah ambisi, lalu aku hanya disuguhi materi."

Alasan mengapa aku mencari perhatian dari sana-sini. Dengan cara apapun akan ku lakukan demi mendapatkan kasih sayang dari segala penjuru. Bahkan menjadi yang tak mengenal adat istiadat. Aku tak peduli, yang penting aku bisa menjadi pusat perhatian.

Bagian yang mana ceritamu? Yang seperti apa kehidupan meletakkan kamu pada satu cerita yang bisa disebut broken home? Yang seperti apa kiranya? Seperti apa kamu menikmatinya?

Sudah retak tepiannya, kosong di tengah-tengahnya, apa masih juga hancur seluruhnya? Rusak bukan alasan untuk menghancurkan diri. Padahal Tuhan mengintai setiap tindakan yang tak terekam mata manusia. Bukan alasan, menyebut diri sendiri sebagai penyandang gelar "Broken Home" lalu bisa seenaknya menyilangkan aturan. Bukankah justru berbahagia? Tuhan mengajarimu menyandarkan tubuh hanya kepada-Nya. Bukankah seharusnya senang? Sebab hidup hanya sekadar pilihan dari tantangan Tuhan.

Bukan salah keadaan menempatkan kamu pada satuan, hanya kamu saja yang belum bisa mengendalikan. Tuhan hanya mengirim pesan sebagai sinyal menuju kebahagiaan. Kalau kamu bisa melewatinya tanpa meninggalkan Tuhan.

Bukankah Tuhan adalah sutradara paling baik menuliskan skenario dengan ending tak terduga? Bahagia memang kerap muncul belakangan. Bersabarlah, maka Tuhan akan merengkuhmu dalam balutan doa-doa yang menjadi akhir penantian dari segala kesedihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun