Mohon tunggu...
Fasih Radiana
Fasih Radiana Mohon Tunggu... -

Kalimatku sederhana, hanya ingin berbagi cinta lewat sederet kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Topeng

6 November 2012   16:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:52 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ternyata kamu palsu. Aku baru tahu, perasaan yang selama ini mengendap di tubuhku; akibat pelukmu. Ternyata semua yang merdu itu semu. Kamu palsu.... Kamu bukan yang ingin bertahan dalam dekapan. Kamu hanya sekadar kalimat dalam bualan. Membuatku bimbang sendirian. Aku pikir, ini cerita tentang kita.

Aku kira kita adalah bagian dari kisahmu juga. Yang kau tulis dengan pena yang kamu genggam. Ternyata kamu sama hebatnya dengan sembarang lelaki; tak lebih dari imajinasi.

"Aku masih ingin di sini," katamu sambil mengecup ujung kepalaku.

Aku diam tak mau berbahasa, sudah bosan dengar lidahmu menjulurkan kata-kata yang sama. Aku sudah bisa menebak kalimat setelahnya.

"Tapi waktu bukan lagi milik kita."

Aku masih diam. Tak perlu banyak bicara; menikmati guyuran hujan yang merintik pelan. Aroma humus mengendus, membuatku mengembuskan napas panjang. Mencoba menenangkan diri saat masih dalam genggamanmu.

"Mengapa hanya diam?" Tanyamu dengan raut kebingungan.

Seketika resah bergelayutan, melahirkan pertanyaan yang berlainan. Mengapa tak coba kau jelaskan tentang rencana yang mungkin saja kau sembunyikan. Aku yakin, kamu paham betul isi di hatiku. Sudah lama mengeja huruf-huruf yang menggantung di dalamnya. Sudah hafal keluh kesahku, tau benar bagaimana caraku menahanmu setiap malam. Agar kamu tetap tinggal di sini; menenangkan riuh pikiranku.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Tanyamu lagi dengan genggaman yang lebih erat.

Apa katamu? Baik-baik saja? Tentu saja akan selalu begitu sampai kau berlalu. Di hadapanmu saja aku bisa merasa tidak pernah ada luka di antaranya. Di antara aku dan kamu yang bagimu tak akan pernah menjadi kita. Tapi selalu kau teruskan dengan cinta yang makin dalam; keterlaluan. Atau perasaanku saja yang berlebihan?

Aku tersenyum menatap matamu lekat-lekat. Tanpa bisa kamu lihat keadaan di baliknya; retakan panjang di setiap rusuknya. Senyumku makin lebar berjajar, padahal susah payah aku menahan gemetar di dadaku. Sakitnya menjalar merambat ke celah-celah bibirku yang pecah. Aku masih membariskan senyum paling rekah; biar lelahmu tak berubah jadi gundah.

Kamu membaringkan tubuh jangkungmu, meluruskan tulang yang sepertinya sudah mulai bengkok. Aku tak mau mengganggu lelahmu dengan kegelisahan yang makin ramai menyelap jantungku. Lebih baik ku pendam saja, daripada harus menambah lagi beban yang sepertinya makin menumpuk di pundakmu.

Aku takut kamu tak kembali lagi setelah pergi berhari-hari. Itu sebab mengapa ku biarkan kamu memperlakukan aku sesuka hatimu. Tak peduli sepahit apa yang ku sesap, indra pengecap ku sudah kebal dengan berbagaim macam rasa yang kau bawa pulang saat petang melayang.

Kamu terbangun; membenahi posisi tidurmu. Dari jauh aku melihatmu mengambil posisi duduk, memegangi kepalamu. Satu menit, dua menit, tiga menit... Baru saja aku mau memberimu obat sakit kepala, kamu kadung jatuh pingsan. Aku setengah berlari menghampirimu. Belum sampai menyentuhmu, kaki ku dipaksa melangkah mundur. Perempuanmu sudah lebih dulu mencium keningmu; seperti dalam dongeng kamu langsung tersadar. Aku lega, pikiran-pikiran buruk yang sedari tadi memenuhi sudah menepi. Aku membalikkan tubuh, buru-buru pergi jauh. Sebab ternyata air mata menderas di pipiku. Baru benar-benar sadar kalau aku tak ada gunanya, buat apa lagi? Sudah ada dia yang melengkapi, menggenapi. Buat apa lagi di sini?

Aku mengemasi barang-barang. Menata perasaan yang tak keruan. Mengusap sendiri air mata yang berjatuhan. Lebih baik aku pulang.

"Mau ke mana?" Tangan hangatmu menahan langkahku. Aku menoleh, bersinggungan dengan tatapmu. Aku diam; menahan jangan sampai air mata meliar di hadapanmu.

"Pulang," kataku singkat. Aku mencoba melepas jerat tanganmu yang kian kuat.

"Biar ku antar," katamu masih dengan memegangi lenganku. Kali ini dengan kelembutan.

"Cukup, berulang kali kamu mengantar kepergian. Tak perlu lagi kalau hanya untuk menyisakan kenangan yang lebih dalam. Biar aku sendiri saja."

Kamu melepasnya, genggam dari jemari-jemari lentik yang biasanya memetik gitar setiap malam. Mengisi kosong dalam penghabisan. Kamu melepasnya tanpa keraguan, genggam dari sela-sela ibu jari yang biasa kau manjakan. Kamu melepasnya; yang kau bilang sulit kau lupakan, susah kau relakan. Padahal nyata-nyata kesengajaan yang kau susun rapi dengan kepura-puraan.Aku tahu itu sejak awal, tetapi terlalu rapuh untuk mengaku paham soal hal-hal yang selama ini janggal, perpisahan yang seolah-olah bukan kamu yang menginginkan.

Kamu terpaku di sudut ruangan. Aku menoleh untuk terakhir kali, "Katamu, ini takdir Tuhan, bukan?"

Aku pergi dengan luka yang masih ku sembunyikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah ku temui jawabannya; persaanmu yang sesungguhnya.

My Blog: http://fasihhradiana.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun