Kamu membaringkan tubuh jangkungmu, meluruskan tulang yang sepertinya sudah mulai bengkok. Aku tak mau mengganggu lelahmu dengan kegelisahan yang makin ramai menyelap jantungku. Lebih baik ku pendam saja, daripada harus menambah lagi beban yang sepertinya makin menumpuk di pundakmu.
Aku takut kamu tak kembali lagi setelah pergi berhari-hari. Itu sebab mengapa ku biarkan kamu memperlakukan aku sesuka hatimu. Tak peduli sepahit apa yang ku sesap, indra pengecap ku sudah kebal dengan berbagaim macam rasa yang kau bawa pulang saat petang melayang.
Kamu terbangun; membenahi posisi tidurmu. Dari jauh aku melihatmu mengambil posisi duduk, memegangi kepalamu. Satu menit, dua menit, tiga menit... Baru saja aku mau memberimu obat sakit kepala, kamu kadung jatuh pingsan. Aku setengah berlari menghampirimu. Belum sampai menyentuhmu, kaki ku dipaksa melangkah mundur. Perempuanmu sudah lebih dulu mencium keningmu; seperti dalam dongeng kamu langsung tersadar. Aku lega, pikiran-pikiran buruk yang sedari tadi memenuhi sudah menepi. Aku membalikkan tubuh, buru-buru pergi jauh. Sebab ternyata air mata menderas di pipiku. Baru benar-benar sadar kalau aku tak ada gunanya, buat apa lagi? Sudah ada dia yang melengkapi, menggenapi. Buat apa lagi di sini?
Aku mengemasi barang-barang. Menata perasaan yang tak keruan. Mengusap sendiri air mata yang berjatuhan. Lebih baik aku pulang.
"Mau ke mana?" Tangan hangatmu menahan langkahku. Aku menoleh, bersinggungan dengan tatapmu. Aku diam; menahan jangan sampai air mata meliar di hadapanmu.
"Pulang," kataku singkat. Aku mencoba melepas jerat tanganmu yang kian kuat.
"Biar ku antar," katamu masih dengan memegangi lenganku. Kali ini dengan kelembutan.
"Cukup, berulang kali kamu mengantar kepergian. Tak perlu lagi kalau hanya untuk menyisakan kenangan yang lebih dalam. Biar aku sendiri saja."
Kamu melepasnya, genggam dari jemari-jemari lentik yang biasanya memetik gitar setiap malam. Mengisi kosong dalam penghabisan. Kamu melepasnya tanpa keraguan, genggam dari sela-sela ibu jari yang biasa kau manjakan. Kamu melepasnya; yang kau bilang sulit kau lupakan, susah kau relakan. Padahal nyata-nyata kesengajaan yang kau susun rapi dengan kepura-puraan.Aku tahu itu sejak awal, tetapi terlalu rapuh untuk mengaku paham soal hal-hal yang selama ini janggal, perpisahan yang seolah-olah bukan kamu yang menginginkan.
Kamu terpaku di sudut ruangan. Aku menoleh untuk terakhir kali, "Katamu, ini takdir Tuhan, bukan?"
Aku pergi dengan luka yang masih ku sembunyikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah ku temui jawabannya; persaanmu yang sesungguhnya.