Mohon tunggu...
Farzana mizaaulia
Farzana mizaaulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN KHAS JEMBER

farzana miza aulia UIN KHAS JEMBER

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pengaruh Serta Fungsi Pendidikan di Lingkungan Sosial Bermasyarakat

13 Desember 2021   10:50 Diperbarui: 13 Desember 2021   10:57 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

7. Kontrol sosial pendidikan  Pendidikan Dalam Pembaruan Masyarakat

C.   PENGERTIAN PEMBARUAN

a, Definisi pembaruan (Innovation) berdasarkan pendapat Rogers (1995) "pembaruan" merupakan "An idea, practice, or object that is perceived as new by individual or other unit of adoption". Berdasarkan manajemen SDM, Peter Drucker (Hesselbein, et al, 2002) mengatakan bahwa pembaruan merupakan "A change that creates a new dimension of performance". Sesuai penerangan kedua orang di atas pembaruan bisa diartikan sebagai perubahan, inspirasi atau gagasan yang memotivasi seseorang menjadi penggunaan dalam bekerja dan berkarya jauh tidak selaras dan lebih baik asal sebelumnya atau membentuk kinerja yang baru. Pembaruan terjadi secara beriringan dengan menggunakan timbulnya tantangan sebab setiap pembaruan mengakibatkan orang berada dalam situasi berbeda dan memerlukan penyesuaian diri. 

b. Aspek kebaruan (Newness) Suatu aktivitas, proses, produk atau temuan ilmiah diklaim menjadi pembaruan karena kegiatan, proses, produk atau temuan ilmiah itu sebelumnya belum pernah terdapat atau belum pernah digunakan sebagai akibatnya  mempunyai aspek kebaruan. Aspek kebaruan bersifat cukup. Pembaruan itu diklaim baru terhitung semenjak mulai diperkenalkan pada warga/rakyat atau khalayak eksklusif.

c. Temuan ulang (Reinvention) Rogers menambahkan bahwa selain pembaruan bisa dilakukan reinvention atau temuan ulang. Temuan ulang artinya proses siklus-ulang pembaruan sebab pembaruan tadi sudah dimodifikasi atau diubah sesuaikan menggunakan kebutuhan warga sebagai pengguna, atau akibat kaji-ulang suatu aktivitas adopsi serta implementasi pembaruan. Umumnya pembaruan yang bisa dimodifikasi biasanyalebih praktis diterima serta banyak digunakan oleh rakyat.

Ada para pendidik yang menaruh kepercayaan/agama yang besar sekali akan kekuasaan pendidikan dalam menghasilkan warga baru. Oleh sebab itu setiap anak diperlukan memasuki sekolah serta bisa diberikan pandangan baru perihal warga yang lebih indah daripada yang sebelumnya. Sekolah bisa merubah  serta menghasilkan kembali rakyat baru.  Pihak yang berkuasa di sebuah negara biasa memakai sekolah untuk mempertahankan dasar-dasar rakyat yang ada. Dalam paparan politik pendidikan serta adat/kebiasaan, apa yang terjadi pada lapangan menyiratkan bahwa perkembangan aspek akademik/intelektualitas lebih menerima tekanan, meskipun masih terbatas pada paparan hafalan, belum sampai tataran/paparaan pemahaman, apalagi tataran berpikir kritis/serius menggunakan penalaran yang lebih baik. Yang lebih memprihatinkan ialah fenomena bahwa anak-anak SD sudah kehilangan kesempatan menyebarkan diri secara masuk akal karena proses pembelajarannya terlalu akademik seperti disinyalir banyak kalangan, contohnya oleh Suyanto (1999).

Bahwa pendidikan ditujukan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dengan segala identitas yang ideal hanyalah arti retorika politik belaka, nyaris tidak pernah diupayakan agar diterapkan dalam acara nyata (di tingkat sekolah dan kelas). Bahkan di periode 1993-1998 lingkup aspek yang menerima tekanan lebih sempit lagi, adalah menyiapkan lulusan yang siap digunakan. Dengan kata lain, aspek-aspek afektif (nilai-nilai sosial-senibudaya seta kepribadian/tabiat) serta aspek keterampilan/kesehatan jasmani dan aspek keterampilan interaktif/komunikasi nyaris tidak tergarap. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dunia pendidikan sudah kehilangan jiwa 57 57 kependidikannya, serta yang masih ada ialah jiwa pengajaran/pedadogi, itupun masih pada taraf pencapaian yang sangat rendah dan tataran pembelajaran yang rendah pula, serta lingkup garapan yang sempit pula. Proses pendidikan yang demikian itu sepertinya sudah membentuk manusia yang kurang bisa berpikir jernih, cenderung memandang persoalan secara "simplistik" sebagai akibatnya tidak bisa mengenali inti persoalan yang sebenarnya menggunakan dampak ketidakmampuan memecahkannya, sangat kurang cerdas secara emosional sehingga kurang bisa mengendalikan emosi, mudah dihasut dan tanpa beban moral "bisa" mengganggu fasilitas-fasilitas publik, yang sebenarnya milik mereka juga, serta kurang cerdas secara spiritual sehingga kurang bisa memakai ajaran agamanya untuk menuntun hidupnya.

Pertama, perubahan hendaknya dilakukan pada politik pendidikan dan kebudayaan/adat. Hendaknya ditegaskan oleh Depdiknas bahwa pembangunan pendidikan diarahkan untuk membentuk/membimbing manusia yang berkepribadian Indonesia yang bertenaga, menggunakan ciri-ciri yang telah disebut di muka, yang semua pengembangan dirinya dapat secara proporsional memenuhi kepentingan pribadi, masyarakat/rakyat serta bangsa, serta juga memiliki wawasan global  serta mampu bersaing secara global/mendunia. 

Kedua, membumikan proses pendidikan/ pendadogi, terutama di tingkat pendidikan dasar, lebih-lebih pada SD, untuk menyampaikan hak-hak anak pada menjalani kehidupan masa kecilnya sinkron menggunakan taraf pertumbuhan dan perkembangannya.

Melihat taraf pertumbuhan serta perkembangannya, aktivitas pembelajaran kepada SD/sekolah dasar, lebih-lebih kepada kelas-kelas rendah/kelas-kelas awal (kelas 1-3), hendaknya dilakukan secara terpadu alami, diikat menggunakan issue tematik, bukan terkotak-kotak sesuai bidang studi. Selain itu, proses pembelajaran hendaknya dilaksanakan pada bentuk aktivitas yang sinkron, diikuti menggunakan dialog interaktif di kelas serta tugas-tugas yang melibatkan pemecahan perkara bersama, dalam bahasa yang bisa mereka tangkap.

Sebagai contoh, pelajaran bisa diberikan dalam bentuk ceritera, yang di dalamnya terdapat persoalan hitung menghitung, persoalan kehidupan sosial-budaya agama, masalah IPA dsb. Dalam memahami dan memnyampaikan persoalan-persoalan itulah, pengembangan keterampilan bahasa dikembangkan. Dengan kata lain, pendagogi bahasa menerapkan "the whole language approach" (Jenson, 1999).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun