Ketidaksamaan gender karena patriarki menciptakan kesenjangan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seringkali dibatasi dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan peluang lainnya. Lalu terjadi deskriminasi terhadap perempuan, perempuan seringkali mengalami dieskriminasi dalam berbagai bentuk seperti, pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.Â
Seperti yang kita dengar dan sering terjadi yaitu kekerasan terhadap perempuan, hal ini terjadi dikarenakan laki -- laki menganggap perempuan adalah mahluk yang lemah dan gampang terpedaya, tingkat kekerasan terhadap perempuan lebih banyak terjadi di lingkungan patriarki dari pada di lingkungan patriarkal.Â
Patriarki juga berdampak pada pembangunan karena perempuan yang sebenarnya memiliki banyak potensi namun potensi tersebut tidak dimaksimalkan malah di sia -- siakan yang disebabkan banyaknya tantangan dari lingkungan.
Di era digital, teknologi membuka peluang besar bagi gerakan feminis untuk menyebarkan pesan dan memperjuangkan hak-hak perempuan secara lebih luas dan cepat.
 Salah satu bentuk inovasi dalam Feminisme 2.0 adalah penggunaan media sosial sebagai alat advokasi. Melalui platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, para aktivis dapat berbagi informasi, mengedukasi publik, dan menggalang dukungan. Dengan kampanye daring, isu-isu feminisme bisa mencapai audiens global dalam hitungan detik.
Selain media sosial, teknologi lainnya seperti aplikasi seluler dan situs web juga memungkinkan perempuan untuk mengakses informasi terkait hak-hak mereka, layanan kesehatan, serta platform diskusi. Teknologi blockchain, misalnya, memberikan peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital tanpa harus berhadapan dengan kendala perbankan tradisional yang kerap tidak inklusif.
Namun, inovasi dalam Feminisme 2.0 tidak berjalan tanpa hambatan. Salah satu tantangan terbesar adalah resistensi terhadap perubahan, terutama dari kelompok-kelompok yang masih memegang teguh nilai-nilai patriarki.Â
Patriarki, yang sudah mengakar selama berabad-abad, sulit diubah hanya dengan inovasi teknologi. Perubahan ini kerap kali menghadapi penolakan, baik dari institusi maupun dari masyarakat yang belum siap menerima konsep kesetaraan gender secara utuh.
Selain itu, ada juga tantangan internal dalam gerakan feminisme itu sendiri. Perbedaan pandangan dan pendekatan sering kali menimbulkan perdebatan. Sebagian feminis berpendapat bahwa perjuangan ini harus fokus pada isu-isu tertentu, sementara sebagian lainnya menganggap feminisme perlu lebih inklusif dan mempertimbangkan isu-isu interseksionalitas, seperti ras, orientasi seksual, dan kelas sosial. Konflik internal ini menjadi tantangan bagi Feminisme 2.0 dalam membangun gerakan yang solid dan kohesif.
Salah satu aspek yang menonjol dalam Feminisme 2.0 adalah penggunaan seni dan budaya sebagai alat perjuangan. Seni, baik dalam bentuk visual, musik, teater, atau sastra, memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan dan menyentuh emosi masyarakat. Lewat karya seni, pesan-pesan feminisme dapat disampaikan dengan cara yang lebih halus namun berdampak kuat.Â
Misalnya, film dan pertunjukan teater yang mengangkat isu-isu perempuan dapat menjadi media edukasi bagi masyarakat. Di samping itu, musik dan sastra juga menawarkan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan pengalaman dan pandangan mereka secara kreatif. Banyak seniman perempuan yang menciptakan karya dengan tema-tema feminis, baik untuk memprotes ketidakadilan maupun untuk merayakan keberhasilan perempuan.