Dalam karyanya yang terkenal "Ihya Ulum al-Din" (The Revival of the Religious Sciences), Al-Ghazali menyajikan pandangan holistik tentang agama dan ilmu pengetahuan. Dia menunjukkan bagaimana berbagai cabang ilmu pengetahuan dapat mendukung pemahaman agama dan memperkuat iman seseorang.
Perlu dicatat bahwa pandangan Al-Ghazali tentang ilmu pengetahuan tidaklah sama dengan pandangan beberapa filosof Muslim lainnya pada masa itu, seperti Ibnu Sina (Avicenna) atau Ibnu Rusyd (Averroes), yang lebih menekankan peran filsafat dan ilmu pengetahuan dalam memahami alam semesta. Meskipun ada perbedaan dalam penekanan dan pendekatan, mereka semua menghargai ilmu pengetahuan sebagai bagian dari upaya mencari kebenaran dan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan penciptanya.
Dalam konteks pandangan Al-Ghazali tentang ilmu pengetahuan, penting untuk memahami bahwa ia tidak mendikotomi ilmu dalam Islam, tetapi justru mendorong integrasi ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai dan ajaran agama untuk mencapai pemahaman yang lebih menyeluruh tentang kebenaran
Pandangan  Al-Ghazali yang sebenarnya
Pandangan Al-Ghazali terhadap sains atau ilmu pengetahuan umum dalam tradisi keilmuan Islam tidak dapat disederhanakan menjadi satu pernyataan tunggal, karena ia memiliki pandangan yang kompleks tentang berbagai aspek ilmu pengetahuan. Di satu sisi, Al-Ghazali mengakui nilai ilmu pengetahuan dan bahkan adalah seorang ilmuwan yang terlatih. Namun, di sisi lain, ia juga mengekspresikan kritik terhadap beberapa elemen filsafat Yunani yang mendominasi dunia Muslim pada masanya.
Al-Ghazali adalah seorang cendekiawan yang terlatih dalam berbagai ilmu pengetahuan, termasuk ilmu logika, filsafat, dan teologi. Dia mengakui bahwa ilmu pengetahuan adalah sarana yang penting untuk memahami dunia yang diciptakan oleh Allah. Al-Ghazali menekankan pentingnya ilmu dan pendidikan dalam mencari kebenaran dan mendekati Allah.
Dalam karyanya yang terkenal "Tahafut al-Falasifah" (The Incoherence of the Philosophers), Al-Ghazali mengkritik beberapa pandangan filsafat Yunani yang telah diterima oleh banyak cendekiawan Muslim pada masanya. Misalnya, ia menentang pandangan Aristoteles tentang ketidakabadian alam dan ide bahwa dunia ini telah ada sejak selamanya tanpa ada pencipta. Al-Ghazali meyakini bahwa pandangan-pandangan ini bertentangan dengan keyakinan Islam tentang penciptaan oleh Tuhan.
Al-Ghazali menekankan pentingnya akal (reason) dalam memahami ajaran agama. Ia berpendapat bahwa akal merupakan anugerah dari Allah yang harus digunakan dengan benar untuk mencari kebenaran dan memahami ajaran-ajaran agama dengan lebih mendalam. Bagi Al-Ghazali, akal dan agama tidak bertentangan; sebaliknya, akal harus digunakan sebagai alat untuk memahami dan mengklarifikasi ajaran agama.
Disisi lain,Al-Ghazali menghargai sains alam dan pengamatan atas ciptaan Allah. Ia percaya bahwa mempelajari alam dan makhluk-Nya adalah cara untuk lebih mendekati Allah dan mengenali kebesaran-Nya. Oleh karena itu, pengamatan dan penelitian alam dianggap sebagai bentuk ibadah dan eksplorasi spiritual bagi Al-Ghazali.
Dalam keseluruhan, pandangan Al-Ghazali tentang ilmu pengetahuan adalah perpaduan antara penghargaan atas ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional dengan kritik terhadap beberapa aspek filsafat Yunani tertentu yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam. Ia tidak secara keseluruhan "membunuh sains dalam tradisi keilmuan Islam," tetapi lebih mengajukan pertanyaan dan refleksi kritis terhadap beberapa pandangan filsafat pada masanya. Pandangannya memberikan sumbangan yang kompleks dan beragam bagi tradisi keilmuan Islam.
Faktor  Utama Bukan Karna Al-Ghazali, tapi begini......