Masjid Mataram Kotagede  Â
Terletak di Kotagede, Yogyakarta, merupakan salah satu contoh yang paling mencolok dari pertemuan budaya Islam dengan kearifan lokal. Dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Agung, raja Mataram Islam yang terkenal, masjid ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol dari keberhasilan harmoni antara ajaran Islam dan tradisi lokal Jawa. Masjid ini menggambarkan bagaimana penyebaran Islam di Indonesia tidak hanya membawa ajaran agama, tetapi juga membentuk interaksi dan asimilasi budaya yang kompleks.
Sejarah Masjid Mataram Kotagede
Masjid Mataram Kotagede didirikan pada awal abad ke-17 oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung adalah sosok yang visioner dan menginginkan Mataram sebagai pusat kekuasaan Islam yang kuat di tanah Jawa. Meskipun Islam telah masuk ke Jawa beberapa abad sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Agung, Islam mulai diresapi oleh elemen-elemen budaya lokal yang unik.
Masjid Mataram Kotagede menjadi simbol kuat dari identitas baru kerajaan, yakni kerajaan yang menggabungkan kearifan lokal Jawa dengan nilai-nilai Islam. Proses ini tidak mudah, karena Jawa memiliki tradisi panjang dengan kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha yang sangat mendalam. Sultan Agung sendiri, sebagai seorang raja Jawa yang berpegang pada nilai tradisional, tidak serta merta menghapus tradisi lama, tetapi memilih untuk memasukkan elemen Islam secara bertahap dan harmonis.
Contoh Nyata Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di MasjidÂ
Masjid Mataram Kotagede di Yogyakarta mencerminkan akulturasi Islam dan budaya lokal Jawa melalui arsitektur dan tata ruangnya. Atap masjid ini berbentuk tumpang atau bertingkat, menyerupai atap rumah joglo tradisional Jawa, berbeda dari masjid-masjid di Timur Tengah yang umumnya berkubah. Selain itu, gapura masuk masjid bergaya paduraksa gapura khas arsitektur Hindu-Buddha Jawa yang menunjukkan perpaduan tradisi lama dengan nilai-nilai Islam. Di dalam masjid, ornamen-ornamen kayu berukir menghiasi bagian mimbar dan mihrab, menggunakan motif khas Jawa seperti sulur-suluran (motif tanaman), yang tetap tidak menampilkan makhluk hidup sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
Arsitektur Masjid yang Mengandung Nilai Filosofi JawaÂ
Masjid Mataram Kotagede adalah salah satu contoh arsitektur Jawa yang sarat dengan makna simbolis. Arsitektur masjid ini memperlihatkan bagaimana konsep ruang dan struktur Islam dikombinasikan dengan arsitektur tradisional Jawa, yang sarat dengan simbolisme. Atap Tumpang Tiga Salah satu fitur utama dari arsitektur Masjid Mataram Kotagede adalah atap tumpang tiga, yang merupakan ciri khas dari masjid-masjid tradisional di Jawa. Atap tumpang tiga ini tidak menggunakan kubah seperti masjid-masjid pada umumnya di Timur Tengah atau wilayah Islam lainnya. Tumpang tiga ini bukan sekadar desain arsitektur, tetapi memiliki makna simbolis dalam budaya Jawa. Dalam kosmologi Jawa, tumpang tiga melambangkan tiga dunia atau "triloka," yaitu dunia atas (dunia para dewa), dunia tengah (dunia manusia), dan dunia bawah (dunia arwah atau roh-roh leluhur). Dengan menggunakan tumpang tiga, masjid ini mencoba mengakomodasi konsep spiritual yang telah dikenal dalam budaya Jawa sambil tetap mengedepankan fungsi utama sebagai tempat ibadah umat Islam.
Simbol-Simbol Keagamaan dan Kearifan Lokal di Masjid Mataram
Selain bentuk arsitektur, Masjid Mataram Kotagede juga dipenuhi dengan simbol-simbol yang mencerminkan nilai-nilai Islam dan filosofi Jawa. Simbol-simbol ini menjadi perwujudan dari upaya masyarakat Jawa untuk tetap mempertahankan kearifan lokal mereka sambil menerima ajaran Islam.
Nilai Nilai Luhur dan Budaya yang Terjaga
Tradisi Sekaten Salah satu tradisi yang erat kaitannya dengan Masjid Mataram Kotagede adalah Sekaten. Sekaten adalah perayaan yang dilaksanakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Meskipun perayaan ini berakar dari ajaran Islam, Sekaten di Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh adat istiadat Jawa. Upacara ini melibatkan gamelan Sekaten yang dimainkan di dalam kompleks masjid, prosesi Grebeg Maulud, serta berbagai upacara lainnya. Dalam konteks Sekaten, Masjid Mataram Kotagede menjadi pusat kegiatan masyarakat, yang tidak hanya melibatkan umat Islam, tetapi juga masyarakat dari berbagai latar belakang. Sekaten adalah contoh nyata bagaimana Islam di Jawa dipraktikkan dengan cara yang menghormati dan mengakomodasi tradisi lokal. Tradisi Ziarah dan Selamatan Selain Sekaten, tradisi ziarah dan selamatan juga menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan di Masjid Mataram Kotagede. Selamatan adalah tradisi yang dilakukan untuk mendoakan keselamatan seseorang atau untuk memperingati peristiwa tertentu, seperti kelahiran, pernikahan, atau kematian. Dalam Islam, doa bersama ini dianggap sebagai amalan baik, sementara dalam tradisi Jawa, selamatan memiliki makna sebagai cara untuk mempererat hubungan sosial dan sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan leluhur. Di Masjid Mataram Kotagede, selamatan dilakukan di berbagai kesempatan, termasuk saat memperingati hari-hari besar Islam.Â
Penulis Muhammad Farros Murtadho dan Dhani Hidayat Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H