Mohon tunggu...
farrel Arfiand
farrel Arfiand Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hobi main bola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsepsi Aturan Hukum Adat pada Masyarakat Adat

16 Januari 2024   22:22 Diperbarui: 16 Januari 2024   22:26 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan 

 

Hak Asasi Manusia (HAM) telah ada sejak saat manusia ada dalam kandungan. Hak Asasi Manusia berisikan norma-norma yang mengatur apa saja yang berkaitan dengan manusia di muka bumi ini. Selama ratusan tahun perkembangan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional telah dimulai sejak setelah Perang Dunia II. Negara-negara pemenang mempersatukan diri untuk mendirikan sebuah perserikatan yang disebut dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perserikatan yang didirikan oleh negara-negara tersebut sangat kuat hubungannya dengan sistem internasional HAM. 

Seperti halnya di Indonesia yang dengan keragaman budaya yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, agama, etnis, adat-istiadat juga memiliki aturan yang di dalamnya terdapat norma kesusilaan dan kemanusiaan. Dari banyaknya macam jenis adat-istiadat di Indonesia mereka yang tergabung dan terbentuk dalam sebuah komunitas yang disebut dengan masyarakat adat. Dan tentu saja setiap masyarakat hukum adat di dalamnya memiliki hak-haknya baik hak atas Hak Asasi Manusia maupun hak yang hukumnya wajib dilindungi oleh negara. Beberapa kejadian tercatat dari lapangan memperlihatkan bahwa anggota masyarakat hukum adat mengalami kriminalisasi oleh negara ketika mereka sedang memperjuangkan hak- haknya sebagai manusia yang tergolong dalam masyarakat adat. Para masyarakat hukum adat ini biasa disingkat dengan MHA. Dalam beberapa kasus tercatat dari Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperlihatkan terdapat 125 (seratus dua puluh lima) MHA di 10 (sepuluh) wilayah adat dikriminalisasi oleh kepolisian. Masyarakat hukum adat ini tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan NTT. Kriminalisasi yang terjadi tersebut dialami terutama pada sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. 

Dalam pasal 18 b ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dipaparkan bahwa negara mengakui dan menghormati tiap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya. Kemudian diperkuat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat (hak-hak atas wilayah adat) dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. 

Pada dasarnya masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal-usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya hukum adat yang masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang timbul secara spontan. Masyarakat hukum adat juga disebut dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering disebut dengan masyarakat adat. 

 Menurut Sandra, masyarakat hukum adat adalah sebuah perpustakaan, dengan alasan karena di dalamnya terdapat informasi yang membentuk identitas dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, hal ini perlu disahkan dalam Peraturan Daerah (PerDa) dan rancangan Undang-Undang (RUU) masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat hukum adat menurut para ahli seperti Ter Haar (dalam Muhammad, 1988:30) mendefinisikan masyarakat hukum adat sebagai kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud. 

Begitu juga oleh Bushar Muhammad (dalam Ginting, 2010:155) memberikan pengertian mengenai masyarakat hukum adat sebagai masyarakat hukum yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari satu keturunan yang sama ataupun berasal dari satu tanah tempat bermukim yang sama. Sedangkan, menurut Saragih (1984:67) menyebutnya dengan persekutuan hukum, yang artinya sekelompok orang- orang yang terikat sebagai satu kesatuan dalam suatu susunanyang teratur yang bersifat abadi, dan memiliki pimpinan serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah tertentu. 

Secara garis besar melihat pernyataan-pernyataan di atas mengenai pengertian masyarakat hukum adat dapat ditarik kesimpulan bahwa sekelompok orang yang disebut sebagai masyarakat hukum adat merupakan kelompok manusia yang teratur dan terikat oleh kesamaan keturunan atau kesamaan wilayah. Lebih jelasnya, diatur dalam Peraturan menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertahanan Nasional Pasal 1 angka 3 No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah ha ulayat masyarakat hukum adat, yakni sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. 

Secara umum, Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia, yang tanpanya manusia tidak bisa hidup sebagai manusia. Menurut john Locke mengartikan Hak Asasi Manusia sebagai hak yang sudah ada dan dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Meskipun begitu sebenarnya Hak Asasi Manusia sendiri sudah ada dan dibawa sejak manusia tersebut ada dalam kandungan. Koentjoro Poerbapranoto mengatakan Hak Asasi Manusia (HAM) adaah hak yang bersifat asasi, maksudnya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Pemahaman terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) mempelihatkan bahwa ha masyarakat hukum adat tidak hanya harus dihormati dan dilindungi tetapi juga harus dipenuhi. 

Persoalan yang muncul yaitu ketentuan masyarakat hukum hukum adat beserta hak-haknya tersebut yang telah dipaparkan di atas masih di atur terpisah dalam beberapa peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Demi menjawab persoalan tersebut memerlukan penelitian secara ilmiah untuk memberikan penjelasan mengenai konsepsi hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dalam Hak Asasi Manusia di Indonesia. 

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berupaya untuk mengetahui dan merumuskan: bagaimana konsepsi aturan hukum adat pada masyarakat adat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia?. 

Pembahasan 

 

Keberadaan masyarakat adat (indigeneous people), beberapa kali sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional. Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat semakin di perjelas secara resmi penggunaan istilah indigeneous people pada tahun 2007 yang disingkat dengan UNDRIP, yaitu United Nation Declaration on the Right of Indigeneous People. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2007 tentang hak-hak masyarakat hukum adat menyatakan bahwa pengakuan atas hak-hak masyarakat adat bermanfaat untuk meningkatkan keharmonisan dan hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat adat, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, tanpa diskriminasi dan dapat dipercaya.3 

Pada hakikatnya, masyarakat adat sejajar dengan masyarakat umum lainnya, sementara tetap mengakui hak semua orang untuk berbeda,dan untuk memandang diirinya berbeda, serta untuk dihargai dalam perbedaan tersebut. Sehingga kelompok masyarakat adat tersebut perlu harus bebas dari segala bentuk diskriminasi selama melaksanakan hak-haknya. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwasannya “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang- Undang”. 

Sudah jelas bahwa eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia diakui, dihormati, dilindungi, dan diupayakan pemenuhannya melalui Peraturan Prundang-Undangan di Indonesia. Walaupun di Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai hak masyarakat adat, dalam peraturan yang terpisah tersebut dapat diasumsikan bahwa masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dikenal sebagai masyarakat hukum adat. 

Penyelesaian masalah melalui lembaga adat dinilai lebih efektif, hal ini didasarkan karena suatu lembaga adat tumbuh berdasarkan nilai yang hidup di masyarakat yang sudah diakui dan dianut secara turun-temurun. Hanya saja kepastian hukumnya harus tetap terjamin dengan pengaturan sebagai pengakuan masyarakat melalui perundang-undangan tetap diperlukan khususnya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan yang netral, seperti bidang administrasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Penyelesaian melalui lembaga adat memiliki mekanisme yang sangat mengedepankan keharmonisan dan kerukunan sosial. 

Penyelesaiannya memiliki karakter yang fleksibel dengan struktur adat dan norma yang dimilikinya bersifat longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial. Hak Masyarakat Adat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia perlu akan dihormati dan diindungi. Dinyatakan secara tegas dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa “Dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam Masyarakat Hukum Adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Melihat dari kacamata HAM dan Konstitusi Indonesia, taggung jawab sebagai negara yang diwakilkan oleh pemerintah adalah mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dari masyarakat adat. Terdapat sebuah pengakuan yang dituang dalam suatu pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap keberadaan hukum dan hak-hak warga negara, baik itu perorangan maupun kelompok masyarakat sebagai wujud dari konstitutif negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Kata “meghormati” diartikan bahwa negara harus tidak melanggar hak-hak yang dimiliki masyarakat adat, termasuk juga dengan cara memberlakukan hukum-hukum yang menjamin hak-hak masyarakat adat. Melindungi berarti negara hars mencegah dan menindak apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat yang dilakukan leh pihak-pihak bukan negara dengan menggunakan hukum yang berlaku. Kemudian kata “memenuhi” mengharuskan pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan dan peraturan serta merencanakan dan melaksanakan kebijakan untuk dinikmatinya hak-hak masyarakat adat. Empat kata di atas merupakan konsep tanggung jawab daripada pemerintah atas hak masyarakat adat. Selain keempat konsep tersebut, pemerintah juga bertanggung jawab atas memajukan hak masyarakat adat melalui program-program pemerintahan, baik itu untuk pengupayaan adanya pengakuan hukum maupun agar pengakuan hukum yang sudah ada bisa diimplementasikan untuk memajukan hak masyarakat adat. 

Termasuk juga di dalamnya mencakup hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat hukum adat untuk diakui secara umum bahwa hak-hak tersebut tidak didiskriminasi. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diuraikan dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), dan Pasal 3 tentang hak untuk tidak didiskrminasi. Pasal 15 mengatur tentang hak atas kebudayaan dan hak untuk berpartisipasi, dan dalam Pasal 12 mengatur tentang hak atas lingkungan yang sehat. 

Kemudian diperjelas dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada prinsipnya undang-undang mengakui bahwa setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku tanpa membedakan ras dan etnis, hal ini tercantum dalam Pasal 9. Artinya semua hak yang diatur dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia harus diberikan termasuk runtutan hak yang diletakkan kepada masyarakat hukum adat. 

Hal yang sangat dekat dengan hak masyarakat adat yaitu berkaitan dengan hak ulayat. Tanah merupakan bentuk peranan penting bagi masyarakat hukum adat. Untuk itu, Hak Asasi Manusia yang ada dalam diri masyarakat adat juga berkaitan dengan hak ulayat. Karena tanah sebagai tempat tingga, tempat bercocok tanam, tempat dimana masyarakat adat dikuburkan, serta diakui sebagai tempat tinggal bagi makhluk-makhluk ghaib dan roh-roh para leluhur. 

Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersngkutan). Hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan hak dasar yang melekat dalam kehidupan masyarakat tersebut yang bukan merupakan pemberian negara. 

Hak ulayat merupakan bagian dari wilayah masyarakat masyarakat hukum adat yang sekaligus merupakan lebensraum masyarakat tersebut. Hak ulayat yang dimaksud tidak sebatas pada tnah ulayat saja, namun juga termasuk di dalamnya ada hutan adat, sumber-sumber air, kolam, dan termasuk juga tumbuh-tumbuhan serta hewn-hewan yang hidup dan ada di atas tanah ulayat yang dapat dimanfaatkan secara komunal oleh masyarakat hukum adat. Maka dari persepsi di atas hak ulayat meliputi banyak hal termasuk pengelolaan terhadap sumber-sumber hayati dalam wilayah tanah ulayat. Pengelolaan sumber daya alam hayati tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (KSDH) dan Ekosistemnya. Kenyataannya, secara praktek penyelenggaraan KSDH dan ekosistem tersebut di Indonesia belum berjalan secara efektif. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kerusakan pada kawasan ekosistem, meningkatnya laju keterancaman spesies flora dan fauna, meningkatnya konflik satwa dengan kepentingan manusia dan konflik mengenai kepemilikan lahan pada kawasan konservasi. Di beberapa tempat juga muncul klaim buruk bahwa konservasi yang dilakukan tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat, konservasi hanya dinilai untuk konservasi dan telah menghambat pembangunan. 

Kelemahan ini berkaitan dengan kurangnya keberpihakan peraturan perundangan terhadap rakyat terutama masyarakat adat. Hal ini juga dirasakan dalam sebagian besar mengenai Undang-Undang yang mengatur tentang sumber daya alam, seperti kehutanan, pertambangan, dan perikanan di masa lampau umumnya sedikit yang berpihak pada rakyat. 

Undang-Undang konservasi memiliki prinsip untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati maka apabila terlalu longgar dikhawatirkan kerusakan lingkungan akan semakin parah. Dari prinsip tersebut masyarakat menganggap bahwa terlalu banyak larangan yang mengikat dan kurang berpihak pada rakyat. Upaya perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat pada hak pengelolaan sumber daya alam diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). 

Ketentuan mengenai pengelolaan hutan adat seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kehutanan semakin dipertegas melalui keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 atas uji materi Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Kehutanan dengan amar putusan bahwa “Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Pengakuan atas hak masyarakat hukum adat di Indonesia telah diakomodasi dalam serangkaian peraturan perundang- undangan sebagaimana telah djelaskan dalam uraian di atas. Meskipun dalam prakteknya belum efektif, sehingga memunculkan teori bahwa Indonesia membutuhkan aturan sendiri untuk mengatur tentang masyarakat hukum adat di Indonesia. 

Pemenuhan hak masyarakat hukum adat telah menjadi kewajiban semua pihak terutama pemeritah dimaksudkan dalam hal ini pemerintah daerah untuk juga memiliki peran terkait pemenuhan hak bagi masyarakat hukum adat. Peran pemerintah daerah sehubungan dengan terpenuhinya pengakuan dan pemenuhan hak bagi masyarakat hukum adat jelas adanya sesuai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Desa ini terkait kewenangan desa adat berdasarkan hak asal-usul adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa masyarakat desa sesuai dengan perkembngan kehidupan masyarakat. Dalam Pasal 103 Undang-Undang desa mempertegas bahwa: 

1. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli 

2. Pengtauran dan pengurusan ulayat atau wilayah adat 

3. Pelestarian nilai sosial budaya desa adat 

4. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip Hak Asasi Manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah 

5. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 

6. Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat 

7. Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat. 

Seharusnya pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-haknya tidak hanya menggunakan pendekatan administratif saja, tetapi juga menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia. Pendekatan administratif mengharuskan negara untuk mengambil langkah-langkah hukum untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap masyarakat adat. Sedangakan pendekatan Hak Asasi Manusia juga mengharuskan negara
untuk memajukan masyarakat hukum adat.
Undang-Undang saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat adat. Untuk itu, masyarakat adat memerlukan sebuah Undang-Undang khusus yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Teori-teori pembentukan Undang-Undang masayarakat hukum adat juga berkembang di dalam gerakan masyarakat adat. Seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengusulkan adanya Undang-Undang khusus masyarakat adat dalam sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) II pada tahun 2003. 

Apabila individu atau kelompok yang bukan masyarakat adat, FPIC bermuara pada tercapainya keputusan mengenai persetujuan atau penolakan masyarakat adat terhadap tiap agenda pembangunan yang masuk ke ilayah masyarakat adat. Maka terbentuklah konsepsi hak masyarakat adat di Indonesia dalam kaitannya dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) mencakup beberapa prinsip dasar dalam konsep Hak 

Asasi Manusia (HAM), diantaranya

1. Prinsip Partisipasi 

 Hak Asasi dan kewajiban manusia melekat ada pada diri manusia sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa, maupun warganegara. Melihat hal tersebut maka partisipasi masyarakat perlu diikut sertakan dalam Penegakan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan perwujudn tanggung jawab sebuah negara yang dmokrasi serta tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsas, dan  bernegara. 

2. Prinsip Keadilan
 
Keadilan yang dimaksud adalah dalam konteks masyarakat adat menghendaki berfungsinya mekanisme kontrol oleh rakyat terhadap semua penyelenggaraan yang dilakukan oleh negara. Terdapat 2 (dua) jalur yaitu jalur hukum dan jalur politik. Yang sudah jelas melalui proses peradilan yang jujur dan tegaas yang memperlakukan seluruh warga negara Indonesia di hadapan hukum. Kemudian melalui mekanisme pemilihan umum yang jujur, bebas, dan rahasia. Prinsip keadilan juga meliputi pengalokasian ruang yang adil bagi masyarakat
hukum adat.

3. Prinsip Kesetaraan/ Tidak Diskriminatif
 
Prinsip ini menekankan penghargaan terhadap martabat seluruh insan manusia. Secara jelas dinyatakan dalam Pasal 1 DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia), merupakan dasar Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa “Semua insan manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak-haknya”. Perlakuan tidak diskriminatif merupakan hal yang sangat erat dengan konsep kesetaraan. Konsep ini mendorong bahwa tidak seorangpun dapat diingkari hak atas perlindungan Hak Asasi Manusianya (HAM) karena alasan faktor eksternal. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan diskriminasi semua tertuang dalam perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang meliputi antara lain:

 1. Ras

2. Warna kulit

3. Seks

4. Bahasa

5. Agama

6. Politik dan pandangan lainnya

7. Asal nasional atau sosial

8. Kepemilikan 

9. Kelahiran, dan 

10. Status lainnya

Dalam hal ini, kriteria yang ditentukan dalam perjanjian tersebut hanya sebagai bentuk contoh bukan berarti diskriminasi diperbolehkan dalam bentuk lainnya. 

4. Prinsip Keberlanjutan Lingkungan 

Prinsip keberlanjutan lingkungan merupakan prinsip yang sifatnya berupa penegasan dan kesadaran global bahwa manusia pada dasarnya tergantung pada kemampuan mengelola lingkungan hidup, tempat meraka berdiam dan hidup di dalamnya. Lingkungan 

yang tidak memenuhi syarat-syarat minimal dalam mendukung kehidupan akan mengakibatkan bencana bagi penghuninya. Prinsip ini dilakukan secara Integratif oleh semua pihak dalam pembangunan. Sederhananya dapat dikatakan bahwa prinsip ini menghimbau manusia untuk bijaksana dalam melihat eksistensi lingkungan sekaligus dapat mengelola dengan cara yang tepat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun