JAKARTA - Entah magnet apa yang ada di Jogjakarta sehingga membuat orang yang sudah menjajaki kaki nya di Jogja pasti akan merindukan setiap sudut kota nya. Hari terakhir menjelang bulan Agustus 2021 cuaca Jogja seakan akan menyapa ramah orang orang.
Mengawali pagi yang cerah seperti biasa berkeliling memburu kuliner melintasi daerah Gejayan, Gedung Univeristas Gadjah Mada, dan akhirnya berhenti di warung Soto Ayam Kampung Pak Dalbe .
Menjelang siang fokus kami tersorot ke bangunan estetik di tengah kota yang dikenal dengan Tamansari. Konon merupakan tempat peristirahatan para Paduka Sri Sultan Pakubuwono dan juga tempat Sri Sultan menghabiskan waktunya dengan Selir-Selir nya di satu kolam besar.
Beruntungnya saat akhir pekan ini cuaca sangat sangat cerah. Terus terang ketika menjelang sore hari kota Jogja tak jauh beda dengan Jakarta, jalanan tak pernah sepi cenderung ramai bahkan di tiap titik selalu menjadi pusat kemacetan.
Perasaan sedikit cemas takut terlewatkan moment yang selalu di ingat ketika mendengar kata Jogjakarta, Menjadi saksi tenggelamnya matahari di Bukit Paralayang. Sesampainya di Bukit Paralayang suasana cemas kembali datang, tempat yang kami ingin tuju nampak padat dan tempat parkir yang tersedia sangat penuh.
Namum kekhawatiran itu tak bertahan lama ketika suatu kebetulan sahabat yang pergi bersama ku merupakan warga lokal di sini .
Dia menelpon om nya “Om ngendi? Parkirane wis uakeh poll iki” ucap Sam Linting berbicara di telfon. Tak lama menunggu Om Rori datang bersama dua orang warga lokal. Tak menunggu waktu lama kami bergegas masuk ke atas bukit.
Semburat jingganya senja dan hangatnya mentari yang sudah mulai reda ditambah segelas Kopi Suroloyo menambah suasana syahdu sore hari ini. Beriringan dengan menghilangnya mentari dari pandangan, begitu juga kami bergegas bergerak untuk kembali beristirahat dan bersiap untuk menjelajahi Kota Jogja versi Malam hari. Kembali berputar dan mencari spot untuk menembus malam yang dingin di Jogja.
Rasanya tidak lengkap jika saat malam hari tidak mampir ke salah satu angkringan yang berada di belakang kampus Gadjah Mada. Dari beberapa kedai yang tersedia, akhirnya kami bertamu pada salah satunya, susu jahe dan beberapa tusuk sate menemani kami menghabiskan malam. Sam Linting banyak bercerita tentang beberapa tempat yang harus dikunjungi ketika sedang berkunjung ke Jogja, salah satunya Tawangmangu.
Tawangmangu bisa dibilang hampir sama dengan daerah puncak, hanya saja ada sebuah danau yang dibelakangnya disuguhi indahnya pemandangan Gunung Lawu. Selain itu di daerah Tawangmangu ini juga terdapat tempat wisata yang menyerupai Negri Sakura dan pastinya dengan pemandangan Gunung Lawu serta pohon sakura. Lokasi tempat wisata ini di Jalan Tamangmanu-Magetan.
Lama bercerita, akhirnya kami pulang untuk mengistirahatkan badan sebelum esok kembali berkelana menyusuri tiap kilometer yang kota ini sediakan.
Setelah pergi menikmati sejarah kota Jogja dengan berkunjung ke Tamansari dan menyaksikan sang surya yang tenggelam saat sorenya, hari ini Sam Linting memberi saran kita benar-benar harus mengunjungi daerah Tawangmangu. Tapi sebelum kami berangkat, rasanya tidak lengkap pagi ini karena kami belum menyicip sarapan Lupis Mbah Satinem yang cukup dikenal.
Selesai menyantap lupis, kami langsung menuju Tawangmangu. Belum sampai ke daerah yang dituju yaitu lereng Gunung Lawu yang semalam diceritakan Sam Linting, kami disambut hujan yang seakan menyampaikan ucapan selamat datang karena sudah berada di wilayah Magetan.
Kami melipir ke warung kopi untuk sekedar mengisi tenaga dan menghangatkan badan dengan tambahan gorengan yang sebenarnya sudah cukup lama dibiarkan hingga sudah dingin.
Lama perjalanan, akhirnya kami sampai di Telaga Sarangan, tepat berada di lereng Gunung Lawu. Banyak yang ditawarkan dari tempat ini, pertama adalah tukang baso yang di kasih kuah dan dimakan dengan wadah plastik kiloan, cara makannya pun diikat dan digigit di ujung bagian plastik tersebut, cukup aneh ya.
Selanjutnya adalah harus berjalan untuk sampai tepat di telaga, cukup jauh dengan disetiap langkah ada yang menawarkan beberapa cinderamata cirikhas daerah sana.
Udara yang dingin menemani kami melihat keindahan yang ditawarkan oleh telaga ini. Benar saja, hamparan air dengan dibelakangnya terdapat keindahan Gunung Lawu sudah cukup lengkap untuk mengatakan nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan.
Telaga ini menawarkan berkeliling dengan kuda, speedboat, atau mau berjalan kaki juga boleh, hanya saja untuk berkeliling dengan kuda dan speedboat harus mengocek kantong lebih dalam lagi. Saya memutuskan untuk berdiam duduk di tepi danau melihat speedboat lalu lalang, orang-orang berdebat agar harga nya sepakat, atau bahkan beberapa pedagang yang berkeliling menawarkan dagangannya.
Tatkala saya menikmati pemandangan, Sam Linting datang dengan segelas susu panas yang cocok saat udara dingin seperti ini. Setelah obrolan demi obrolan akhirnya kami bertolak untuk makan siang, masih disekitar daerah Tawangmangu. Berlabuh pada satu tempat makan yang menyediakan beberapa jenis makanan, kami memutuskan pesan sate ayam dan sate kelinci yang masing-masing satu porsi.
Perut sudah terisi dan beberapa batang rokok pun sudah menjadi abu, kami siap untuk ke tempat selanjutnya, daerah yang mirip Negri Jiran. Tidak butuh waktu lama, kamipun tiba. Tempat ini cocok untuk siapapun yang sangat Instagramable, foto-foto adalah hal yang wajib dilakukan ketika berada di tempat ini, mungkin lebih cocok untuk para kaum hawa, tapi tidak apa-apa kami tetap menikmatinya.
Setelah itu kami bertolak kembali ke tempat istirahat alias pulang kerumah karena besok pagi harus pulang ke Jakarta. Kalau dipikir-pikir tidak cukup menikmati kota Jogja dengan waktu sempit. Lain kali saya akan lebih meluangkan waktu lama lagi untuk kembali ke kota ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H