Broto tidak ingin memikirkan kejadian tadi, peduli setan dengan kakek itu, terkadang orang-orang itu sulit di prediksi entah muncul dari mana lalu hilang begitu saja, kalau memang benar malaikat seperti kata mba Lastri, begitu suka bercandanya mereka. Tidak sekali dua, banyak model seperti kakek yang barusan walaupun menggunakan metode yang beragam, yang paling sering adalah mengatasnamakan sumbangan masjid dengan membawa map juga proposal, terkadang ada daftar orang yang sudah menyumbang, entahlah tapi yang tadi ini cukup mengherankan tapi tak begitu dipikirkan oleh Broto.
      Kejadian apapun yang menimpanya tidak menyusutkan pandangan pikirannya kepada ning, mungkin Broto sudah tergila-gila dan jath hati kepada Ning, pun pergi mengisi pulsa ke konter mba Lastri hanya sekadar ingin menggunakannya untuk memandangi foto-foto ning di instagramnya, karena memang Broto tidak pernah berbalas pesan satupun dengan Ning. Khususnya Ning yang tidak pernah membalas pesan Broto. Broto yang hanya mengandalkan sisa warisan orang tuanya dan pemasukan bisnis kos ayahnya dengan gagah berani dan optimis Broto pergi melamar janda kembang yang di tinggal mati suaminya itu.  Â
      " Ning, banyak petir jangan bermain hape "
      " Memangnya kenapa ??"
      " Nanti kamu bisa gosong !!"
      Ning menjadi lebih penurut terhadap kedua orang tuanya yang masih sehat itu, semenjak Ia menjanda dan anak satu-satunya mati pada usia 3 bulan. Kesehariannya memang tidak seperti ketika ia masih bekerja menjadi kasir di sebuah mini market dekat kantor pos pusat kota. Semenjak banyak musibah yang menimpanya, paling-paling kini ia hanya membantu membuat kopi susu di warung Bu Jum, Ibunya sendiri. Kata orang pintar atau sebut saja dukun yang merasa pintar, Ning memang ada yang mengikuti makanya bertubi-tubi terkena musibah katanya, entah itu jin, iblis, guna-guna atau arwah leluhurnya. Hanya sampai pada penjelasan itu, orang tua Ning tidak mampu membayar dukun lebih lanjut maka dari itu tidak ada penanganan lebih intensif dari dukun yang katanya pintar itu. Sementara orang tuanya hanya pasrah dengan keadaan Ning yang seperti ini, mereka bukan keularga yang terlalu religius atau bahkan terlalu logis, dengan keadaan perekonomian kelas menengah kebawah pun cara mereka berpikir adalah cara berpikir rata-rata masyarakat pedesaan. Dan sementara Broto yang di gadang-gadang menjadi obat penawar kegundahan dan kegusaran Ning akhir-akhir ini malah ditolaknya dengan mentah. Katanya tak setampan mas Wiwit.
      " Aku ndak mau sama mas Broto, pokoknya mas Wiwit ! "
      " Ning, hargai niat baik mas Broto dan keluarganya "
      " Ndak mauu, pokoknya mas Wiwit !"
      " Kamu sudah membunuh Wiwit tiga tahun lalu. Wiwit membunuh anaknya, anakmu ! "
      " Hayuk, katanya pengen muter-muter monas ? "