Yakin serta tidak yakin, apa pula bedanya, tidak begitu berpengaruh, kata salah seorang sahabatku tiga hari yang lalu ketika mereka mencoba mengukur batas semesta pada suatu malam, ketika sama sekali tidak ada awan di musim kemarau dan bintang-bintang bagai biji-biji kaca berhamburan, sementara udara dingin dan angin berputar melingkar disekitar leher dan kemudian berhenti di sudut dan ahh.. klise.
Gadis ini, lama tak kujumpai dia berdesakan dalam kepal kepalaku. Duduk menyamping di sebelahku dengan sadar lahap menyantap kudapan makan siangnya, sekali dua melempar senyum kepada teman-teman seangkatannya lewat.
Aku mencoba beberapa kali melirik melihat beberapa bekas jerawat menempel di pipinya, lumayan cantik, tapi aku tidak begitu tertarik, ketertarikanku telah dicincang habis oleh gadis yang belakangan aku ketahui tidak ditakdirkan pasangan berganti busanaku.
Dan seorang pria dengan gaya rambut aneh hampir-hampir mirip kemoceng warna-warni yang dijual murah untuk keperluan beres-beres ibu-ibu desa ini mondar mandir membawa map merah tak jelas tujuannya. Aku tidak begitu suka gayanya, terlalu mencolok barangkali.
Hampir pukul empat sore hari ini, matahari sudah melonglong dari arah barat, hanya aku yang diam berkendara melindas siluet daun dari atas aspal tandus. Jalan raya amat berisik sore ini. Di persimpangan kampus kemacetan terjadi hanya karena mobil anak orang kaya yang ingin menerobos masuk lewat gerbang samping fakultas.
Arah kontrakan semakin mendekat, aku masih sibuk dengan pengeras suara di telinga yang memutar daftar lagu gerimis gundah dan resah belakangan ini. Geram rasanya mengetahui nasib yang tidak begitu juntrung, terlebih lagi soal asmara.
Hanya masa bodoh ku yang kekal. Tapi tidak dengan lelaki paruh baya duduk di atas sepeda motor bertransmisi matic dan helm lusuh yang masih melekat di ruas kepalanya. Berteduh di teras sebuah mini market yang lama tutup atau bahkan barangkali bangkrut. Menunduk mencubit-cubit jari tangannya sendiri hingga matanya tenggelam, tertidur pulas, belum tahu kapan akan terbangun.
Tidak ada orang tidur yang benar-benar tahu kapan ia akan terbagun. Mungkin benar kata filsuf dan ilmuwan belakangan ini, ada sebuah kesadaran lain yang memperhatikan dan mencubit pipimu supaya kelopak matamu naik. Tapi berteduh atas dasar apa, hujan pun tidak, matahari sore setahuku pun tidak akan membuat kemejanya basah.
Ya mungkin saja konstruksi definisi hari ini sudah terbiasa fleksibel bahkan saling silang tak sejajar pun tak masalah, tidak perlu hujan untuk berteduh, tidak perlu api untuk mendidih, tidak perlu air mata untuk menangis, tidak perlu tertawa untuk bahagia. Wajar saja beberapa anak muda keranjingan media sosial berkendara siang bolong mengenakan jas hujan panas.
Terkadang fokus terhadap sebuah batasan dan parameter untuk menilai sebuah fenomena justru akan membuatmu terpeleset terpelanting ke udara, membal dan tidak kembali mendarat. Batasan yang kita buat, kita kritik, kaji ulang lalu membuat struktur baru lagi, lagi dan lagi tanpa tahu batasan yang sesungguhnya.
Konstan dan dinamis pada skala tertentu dapat saling berpelukan erat satu sama lain untuk saling mengingatkan bahwa mereka berdua juga belum benar-benar konstan serta dinamis. Ah.. barangkali aku terlalu banyak ngelantur karena membaca buku dan menonton film yang tidak sanggup aku cerna.