Ekspansi Jerman di Eropa (1940-1941)
Setelah sukses menaklukkan Polandia pada akhir 1939, Adolf Hitler dan Jerman Nazi segera mengalihkan pandangannya ke barat. Tujuan utama berikutnya adalah mengamankan kendali strategis atas Eropa Barat dan menguasai rute perdagangan penting di Laut Utara. Pada April 1940, Jerman melancarkan serangan ke Denmark dan Norwegia. Serangan ini bertujuan untuk mengamankan akses ke sumber daya alam Norwegia, terutama bijih besi, serta memastikan kendali atas jalur laut yang vital untuk perdagangan Jerman. Dalam waktu singkat, Denmark menyerah tanpa perlawanan berarti, sementara Norwegia bertahan sedikit lebih lama sebelum akhirnya jatuh ke tangan Jerman. Keberhasilan ini memberi Jerman posisi yang kuat di Skandinavia, sekaligus memperluas pengaruhnya di Eropa Utara.
Tidak berhenti di sana, pada Mei 1940, Jerman melancarkan serangan terhadap Belanda, Belgia, dan Luksemburg sebagai bagian dari serangan skala besar menuju Prancis. Serangan ini, sekali lagi, menggunakan taktik blitzkrieg yang sudah terbukti efektif selama invasi Polandia. Dalam beberapa hari, pasukan Jerman dengan cepat menembus pertahanan Belanda dan Belgia, yang tidak mampu menahan kecepatan dan kekuatan serangan pasukan Nazi yang sangat terorganisir. Blitzkrieg, dengan perpaduan serangan darat dari tank-tank Panzer dan dukungan udara dari Luftwaffe, melumpuhkan komunikasi dan strategi pertahanan musuh. Belanda menyerah dalam waktu kurang dari seminggu, disusul oleh Belgia beberapa hari kemudian.
Fokus utama serangan ini adalah Prancis, kekuatan besar di Eropa Barat yang merupakan ancaman langsung bagi Jerman. Pada pertengahan Mei, pasukan Jerman berhasil melewati Hutan Ardennes, wilayah yang dianggap tidak dapat ditembus oleh militer Prancis. Keberhasilan ini memungkinkan Jerman mengepung sebagian besar angkatan darat Sekutu di wilayah utara. Salah satu peristiwa paling dramatis dalam kampanye ini adalah evakuasi Dunkirk, di mana lebih dari 300.000 pasukan Inggris dan Prancis berhasil dievakuasi ke Inggris melalui laut, meskipun terkepung oleh pasukan Jerman. Meskipun evakuasi ini dianggap sebagai keajaiban, Prancis tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Pada bulan Juni 1940, hanya dalam waktu enam minggu, Prancis jatuh ke tangan Jerman. Negara ini dibagi menjadi dua wilayah. Bagian utara berada di bawah pendudukan Jerman langsung, sementara di bagian selatan dibentuk pemerintahan kolaboratif yang dikenal sebagai Pemerintahan Vichy, dipimpin oleh Marsekal Philippe Ptain. Pemerintahan ini bersedia bekerja sama dengan Nazi, meskipun tetap mempertahankan semacam otonomi. Jatuhnya Prancis menjadi pukulan besar bagi Sekutu, terutama bagi Inggris yang kini menjadi satu-satunya kekuatan besar di Eropa yang melawan ekspansi Nazi.
Di tengah-tengah kemenangan Jerman di Eropa Barat, Inggris tetap teguh dalam perlawanan. Pada Mei 1940, Winston Churchill diangkat sebagai Perdana Menteri Inggris, dan ia segera memimpin negaranya dengan semangat yang pantang menyerah. Pada musim panas dan gugur tahun 1940, Jerman melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap Inggris, yang dikenal sebagai Pertempuran Inggris (Battle of Britain). Tujuan Jerman adalah untuk melumpuhkan kekuatan udara Inggris, Royal Air Force (RAF), dan mempersiapkan invasi darat ke pulau tersebut. Namun, berkat keunggulan teknologi radar dan taktik pertahanan udara yang canggih, RAF berhasil menahan serangan-serangan Jerman. Meskipun London dan kota-kota lainnya mengalami kerusakan besar akibat serangan bom, Inggris berhasil bertahan, dan Hitler terpaksa menunda rencana invasi yang dikenal sebagai Operasi Sea Lion.
Di sisi lain Eropa, sekutu Jerman, Italia, yang dipimpin oleh Benito Mussolini, mencoba memperluas pengaruhnya di Mediterania. Pada Oktober 1940, Italia menyerang Yunani dari Albania, namun serangan ini segera berubah menjadi bencana. Yunani memberikan perlawanan keras, memaksa pasukan Italia mundur. Kekalahan ini mempermalukan Mussolini dan mengancam ambisi ekspansi Italia di kawasan tersebut. Selain itu, pada waktu yang hampir bersamaan, Italia juga melancarkan serangan ke Mesir, yang saat itu berada di bawah kendali Inggris, dari wilayah Libya. Namun, kampanye ini juga gagal, dan pasukan Italia menghadapi kekalahan berulang kali.
Kegagalan militer Italia memaksa Hitler untuk campur tangan. Pada awal 1941, Jerman mengirimkan bantuan militer ke Afrika Utara, yang dikenal sebagai Korps Afrika (Afrika Korps), dipimpin oleh Jenderal Erwin Rommel. Pasukan ini segera terlibat dalam serangkaian pertempuran melawan Inggris di gurun Afrika Utara. Pada saat yang sama, Jerman juga meluncurkan kampanye militer untuk menaklukkan Yunani dan wilayah Balkan lainnya, termasuk Yugoslavia, yang segera jatuh ke tangan Jerman pada April 1941.
Ekspansi militer Jerman di Eropa pada periode 1940-1941 menunjukkan kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh Nazi di bawah pimpinan Hitler. Dengan menguasai sebagian besar Eropa Barat, serta memperluas pengaruhnya di Balkan dan Afrika Utara, Jerman tampaknya tak terbendung. Namun, meskipun berhasil menaklukkan banyak negara, perlawanan dari Inggris dan kesulitan yang muncul di Afrika Utara dan Balkan menunjukkan bahwa dominasi Jerman di Eropa tidaklah absolut. Inggris tetap berdiri kokoh sebagai benteng perlawanan, dan situasi di Mediterania menunjukkan bahwa Sekutu masih memiliki peluang untuk membalikkan keadaan. Pertempuran ini hanyalah awal dari konflik yang akan terus meluas dan menjadi semakin brutal seiring berjalannya waktu.
Perang di Timur: Serangan Jerman ke Uni Soviet (1941)
Pada 22 Juni 1941, Jerman meluncurkan Operasi Barbarossa, sebuah invasi yang direncanakan dengan sangat ambisius untuk menyerang Uni Soviet. Operasi ini merupakan salah satu serangan militer terbesar dalam sejarah dunia, baik dalam hal skala maupun dampaknya. Dengan mengerahkan lebih dari tiga juta tentara, ribuan tank, dan pesawat tempur di sepanjang front Timur yang membentang lebih dari 2.900 kilometer, Hitler bertekad untuk menaklukkan Uni Soviet dan mengakhiri apa yang ia lihat sebagai ancaman terbesar bagi rencana global Nazi: komunisme.