4) Keberadaan praktik penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pemerintahan serta rendahnya akuntabilitas instansi pemerintah.
5) Pelayanan publik yang belum memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh dan hak-hak dasar warga negara.
6) Budaya kerja birokrasi dan pola pikir yang belum mendukung efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan profesionalisme dalam sistem birokrasi.
Selama beberapa tahun terakhir, wacana Reformasi Birokrasi telah diadvokasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, namun implementasinya belum memuaskan. Pemerintahan saat ini masih belum sepenuhnya mewujudkan esensi dari reformasi birokrasi. Birokrasi tetap mempertahankan ciri klasiknya dengan pusat kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan pemerintah. Selain itu, belum terlihat rencana menyeluruh yang komprehensif tentang penyelenggaraan birokrasi pemerintah. Struktur organisasi pemerintah masih terbilang kompleks, menyebabkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Dalam konteks reformasi birokrasi, inovasi menjadi aspek yang tak bisa dipisahkan, sebagaimana yang disampaikan oleh Farazmand (2004):
"Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Without policy and administrative innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and becomes a target of criticism and failure".
Pandangan tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan inovasi menjadi esensial bagi setiap pemerintahan. Menurut Farazmand, inovasi tidak selalu harus menghadirkan perubahan besar yang radikal dan terfragmentasi. Dalam beberapa kasus, inovasi dapat berupa penyesuaian terhadap sistem yang sudah ada, masih berada dalam kerangka perencanaan jangka panjang. Aspek terpenting dalam inovasi administrasi pemerintahan adalah terus menerusnya kemunculan hal-hal baru, entah itu berupa perubahan signifikan atau yang lebih kecil, dalam rutinitas birokrasi sehari-hari, sehingga inovasi menjadi bagian dari kebiasaan baru dalam birokrasi.
Kewenangan dan peran birokrasi dalam negara demokratis memiliki dampak yang besar, baik dalam menggerakkan sumber daya pembangunan, perencanaan, maupun pelaksanaan tugas pemerintahan dan kemajuan bangsa. Di samping itu, sensitivitas birokrasi dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik, sangatlah penting. Namun, kenyataannya, birokrasi masih belum optimal; tampak adanya tumpang tindih aktivitas antar instansi dan masih banyak fungsi yang seharusnya bisa dilimpahkan kepada masyarakat tetapi masih dikelola oleh pemerintah. Semakin besar peran yang dimainkan oleh masyarakat, semestinya birokrasi lebih berperan sebagai agen pembaharuan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat. Kondisi tersebut menuntut agar pegawai pemerintah dapat memainkan peran yang lebih vital. Efisiensi dan efektivitas merupakan prinsip manajemen yang harus dikedepankan, baik dalam pelaksanaan kegiatan rutin maupun dalam menjalankan pembangunan nasional. Birokrasi harus memiliki keterampilan untuk merancang strategi yang mendorong perubahan dan kemajuan dalam berbagai kebijakan serta implementasinya. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi ketidak optimalan yang disebabkan oleh faktor institusi, prosedur, kurangnya keterampilan, serta perilaku negatif dari para pelaksana. Faktor institusional dapat menjadi penyebab ketidakoptimalan terutama jika jenis dan struktur organisasinya tidak sesuai.
Upaya dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan merupakan faktor krusial yang mempengaruhi keberhasilan inovasi. Pertama, kebijakan dan regulasi yang mendukung inovasi menjadi fondasi utama. Kerangka kebijakan yang memberi insentif, mengurangi hambatan administratif, serta memberikan ruang bagi eksperimen menjadi pendorong inovasi yang kuat.
Kedua, alokasi sumber daya yang memadai sangat penting. Sumber daya finansial, infrastruktur, teknologi, dan tenaga kerja yang terampil menjadi modal utama bagi inovasi yang berkelanjutan.
Selain itu, budaya organisasi yang mendorong eksperimen, pengambilan risiko yang terukur, serta pembelajaran dari kegagalan menjadi pondasi bagi inovasi yang berhasil. Kemudian, kepemimpinan yang mendukung inovasi dengan memberikan arahan jelas dan memberi kebebasan pada bawahan untuk berinovasi menjadi kunci penting dalam proses ini.
Tak kalah penting adalah kolaborasi lintas sektor. Kerjasama antara sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil menjadi katalisator bagi ide-ide inovatif yang lebih luas dan inklusif. Akhirnya, evaluasi terhadap inisiatif inovatif dan pembelajaran dari hasil evaluasi menjadi langkah penting untuk terus memperbaiki dan meningkatkan inovasi di masa depan. Keseluruhan aspek ini, saat terpadu, membangun landasan kuat bagi penerapan inovasi yang sukses dalam penyelenggaraan pemerintahan.