"Sudah aku duga kau tidak akan tertarik, sama sepertiku kalau begitu.."
"Ya.."
Mereka berjalan dan memutuskan untuk berhenti di sebuah pondokan kecil yang berada di bawah pohon rindang. Pondokan itu beratap, tetapi dipenuhi dengan banyak lubang yang besar di bagian atapnya. Walaupun seperti pondokan yang renyot dan akan segera rubuh tempat itu mengingatkan sesuatu pada Anwar.
"Apakah kita pernah kesini sebelumnya bi ?" tanya Anwar.
"Pernah, masa kamu lupa War"
"Maaf, terlalu sibuk belakangan ini bi" Anwar tertegun.
"Bagaimana menjadi seorang pengacara ? Mereka banyak berbohong ?"
"Tidak juga, tetapi tidak menutup kemungkinan. Abi juga tahu soal itu, sudah lama menjadi hakim mustahil tidak tahu intrik pengacara"
"Hahahaha, bukan bermaksud gitu. Namun Abi percaya kalau kamu adalah orang yang jujur, karena kamu adalah anak Ibu, Jamilah, sangat sungkan untuk menolak ketidakbenaran"
Anwar tersenyum tipis, tetapi itu adalah gestur kaku. Kedua tangan Anwar berada di atas tempurung kaki. Anwar takut bilamana Rojali menanyakan soal Ibunya Jamilah, terlebih lagi adik bungsunya Thalib. Bila itu terucap olehnya, Anwar bingung harus berkata apa. Baginya dia bukanlah seorang lawyer yang cemerlang dihadapan Rojali. Anwar tidak bisa mengelak.
"Aku sudah tahu soal Jamilah dan Thalib nak. Kami sudah bertemu di sana" Rojali memandang langit biru yang membentang di atas mereka.