"Hei kalian lupa ya kalau ada ibu-ibu di belakang kalian ini..." tegur Karina berteriak. Suaranya menggema di ruang terbuka. Badaruddin menoleh, tetapi tidak memberikan jawaban selain lambaian tangah dan seringai yang menampilkan gigi.
"Astaga mereka ini. Mereka pikir kita ini masih berumur belia apa" Karina mengeluh.
"Hehehehe, biarkan. Para pejantan itu memang seperti itu, toh juga kalau mereka akan menunggu kita ketika memerlukan kasih sayang. Hehehe.." ujar Eka terkikih.
Ladang kebun teh memenuhi kelopak mata mereka. Perjalanan mereka yang cukup jauh, terjawab oleh pemandangan kebun teh yang membentang luas dihadapan mereka. Beberapa petani masih sibuk memanen daun teh, Badaruddin mengajak Raffa untuk bertemu salah satu petani yang mengenal Rojali, barangkali mereka akan tidak percaya kalau Rojali telah memiliki seorang cucu. "Baiklah hati-hati din..", Badaruddin mengangguk dan mengendong Raffa seolah seperti anaknya.
Anwar tidak percaya kalau kebun teh ini sama sekali tidak berubah selama 20 Tahun lamanya, tepat ketika dia dan Rojali terakhir kali bertemu sebelum dirinya wafat. Desiran angin datang dari balik pegunungan, menerpa Anwar diikuti dengan kilasan masa lalunya tentang Rojali, Jamilah, Thalib, dan Badaruddin. Angin seperti hidup, pikir Anwar, ada yang berbisik di telinganya, tetapi suara bisikan itu terdengar familiar. "Abi.." itu yang dirasakan oleh Anwar dengan sedikit tersenyum tipis.
Matahari menyinari sebagian kebun teh. Cahayanya berpendar begitu terang memberikan kehangatan bagi hamba di bawahnya. Tidak ingin mati suri begitu saja, Anwar memutuskan untuk menjelajahi kebun teh itu untuk sekali lagi, walaupun tabir ketakutan masih menyertainya. Dia bisa merasakan Rojali begitu dekat, seorang ayah yang menjadi sosok menakutkan bagi diri Anwar kecil kala itu. Selalu datang dengan jutaan amarah, walaupun almarhum itu tetap bersikukuh ini adalah sebuah nasehat.
Anwar berjalan, terus menandas tanah di bawah kakinya dan tangan yang menyentuh daun-daun teh itu. Geliat tawa terdengar dari salah satu sudut kebun teh, tepat di seberang sana, Anwar melihat Badaruddin yang tengah mengobrol dengan seorang petani tua yang tampak sumringah melihat Rojali yang telah memiliki seorang cucu. Raffa ikut tertawa, Anwar merasa terheran awalnya, tetapi mungkin saja ini yang dinginkan oleh Rojali sedari awal. "Kita semua berkumpul", pikir Anwar.
"War, war, Anwar !" suara pria terdengar, segera Anwar mencari sumber suara itu dan menyadari kalau Rojali berada di depannya.
"Melamun lagi ? akhir-akhir ini seringkali dirimu.." tegur Rojali.
Anwar mengusap bagian belakang kepalanya. Dia harus mengakui kalau beberapa hari ini ada yang memberatkan pikirannya. "M---maaf.." jawab Anwar dengan gemetar. Rojali tersenyum sungging, dia tahu kalau anaknya itu takut dimarahi kembali olehnya. "Kemarilah, kita nikmati dulu waktu rehat ini sejenak" ajak Rojali dengan mengayungkan pergelangan tangan kanannya.
Mereka berdua berjalan melewati beberapa blok kebun teh yang hijau dan muda itu. "Kau tahu Anwar, teh itu yang dipetik bukan bagian daunnya semata" ujar Rojali menunjukan Anwar, "Tetapi pucuknya ini. Ini yang menentukan kualitas tes: aroma, rasa, dan warna ditentukan oleh pucuknya. Bila pucuknya telah peko seperti ini, maskudku terdapat tunas aktif yang telah runcing seperti ini. Di tempat ini kau harus memetiknya. Metode pemetikan itu bermacam-macam, semuannya tergantung pada pekonya. Bilamana daunnya terdiri 4 (empat) maka...." Rojali menengadah kepala, melihat Anwar dengan ekspresi muram tidak karuan.