Azan subuh berkumandang. Matahari terus mendaki puncak langit di balik rapatnya gedung-gedung tinggi Ibu Kota Jakarta. Â Tidak seperti di kota lainnya, penduduk Jakarta seolah tidak pernah tidur. Banyak di antara mereka, termasuk diriku, yang telah hinggap di bawah tanah menunggu kedatangan MRT yang siap menjemput kami ke lokasi kerja masing-masing. Aku berjalan seperti semut, tiap jengkal aku melangkahkan kaki, menengadah kepala, dan memandang lautan manusia yang telah memadati tiap sudut lorong MRT.
Semuanya berpakaian begitu necis dengan tampilan "badut" mereka masing-masing; berdasi, berkemeja, bercelana panjang hitam, dan tidak lupa sepatu pantopel yang mengkilap seperti sehabis di semir. Lorong MRT menjadi begitu sempit, kami bergerumbul satu sama lain dengan keadaan yang saling berdesakan. Saling menyiku sudah menjadi hal yang biasa, bahkan tidak jarang kedua pipi yang telah berkeringat ini bersentuhan satu sama lain. Kami seperti anak ayam di dalam sebuah dus yang begitu pekat, sempit dan tertutup rapat.
Suara desingan rel terdengar dari kejauhan. Para pekerja kerah putih Jakarta mulai berombak dan bergerak menuju tepi peron demi mendapatkan kursi di MRT. Kereta itu datang dengan begitu cepat, desingannya seperti sorakan penonton yang menuntut kami untuk segera berlari marathon. Setiap dari kami menatap tajam kereta itu, menunggunya berhenti dan membuka pintu agar kami bisa bergegas masuk. Pintu kereta terbuka dan kami melesat seperti pelari marathon yang mendengar pluit panjang.
Siku kami saling bergesekan, tubuh kami saling mendorong dan terdorong satu sama lain, suara teriakan terdengar dari hampir segala sisi. Teriakan itu seperti sebuah rintihan dan saat yang bersamaan juga seperti sebuah ancaman: "Hei ! brengsek kau menginjak kaki aku !" "Kau menyalip barisan, ke belakang donk !" "Waduh telat nih, bisa dipotong gaji nanti..". Semua itu terdengar di tiap telinga kami, tetapi siapa yang peduli toh ini Jakarta, bukan tempat para pemula.
Beruntung aku telah berada di kereta yang berjalan. Sebentar lagi kereta ini akan menembus lorong panjang dan melewati banyak bangunan kelas menengah ke bawah dan atas. Setelah kupikir, aku telah berdiri satu jam di lorong MRT itu dan bodohnya aku akan mengulangi omong kosong ini pada besok harinya. "Sialan !" aku menggerutu dan geram sambil memegang keras pegangan (hand straps) MRT serta memandang seluruh manusia ini seperti kecoa yang sedang menunggu hidayah dari langit.
Kereta menembus lorong yang sangat panjang itu. Terasa seperti melintasi lorong waktu. Ketika aku berangkat suasana masih gelap dan lampu trotoar masih menerangi sepanjang jalanan, sekarang cahaya matahari telah merekah dan berpendar dari ufuk timur dengan sinarnya yang begitu tajam. Cahaya itu menelisik dan menggelitik kedua mataku. Aku memandangnya dengan tatapan menahan silau, tetapi gambaran ini yang tidak ingin aku lewatkan. Lukisan ini satu-satunya yang indah dari seluruh rutinitas yang monoton dan membosankan ini.
"Hangat, harum, dan rumah" jujur saja aku teringat dengan kampung halaman diriku. Jauh dari Jakarta, tepatnya berada di timur, aku selalu memandang matahari yang sama ini dengan ceria dan sumringah. Kopi dan buku yang selalu menemani pagiku, tanpa beban dan tanggung jawab orang lain yang dilimpahkan kepada diriku. "Sungguh aku merindukan masa lalu" sekali lagi aku bergumam.
Kereta menerobos waktu begitu cepat, saat yang bersamaan itu juga pagi yang terang dan indah itu tergores seperti lukisan dan menjauh tertelan oleh kegelapan lorong yang mengantarkan diriku kepada kerumunan manusia lainnya. Aku telah berdiri di tujuanku menunggu pintu terbuka dan bersiap untuk menerobos pagar manusia yang berlapis dan berjejer itu.
Aku mempasatkan mata dan memandang mereka begitu seksama. "Ada yang berbeda.." aku membatin, tetapi dengan rasa takut yang semakin memuncak dan menguncang. Wajah mereka tampak begitu pucat pasi; kesegaran, keceriaan, dan kegembiraan, tidak tergambarkan dalam ekspresi dingin mereka itu. Sekilas mereka seperti zombie, pikir diriku. Aku memutuskan mengucek kedua mataku, barangkali aku mengalami halusinasi hebat hingga penglihatanku menafsirkan lain. Walhasil tidak ada yang berubah, mereka memang seperti itu. Semuanya sama.
Ada untaian rantai yang mengikat leher mereka. Tidak panjang tetapi terikat oleh sebuah batu yang cukup besar di bawahnya. Batu itu berjenis batu granit, tampak begitu kokoh dan elegan dengan warna yang mengkilat hitam dan ke abu-abuan, tetapi terdapat tulisan yang menarik pada batu itu. Tulisan itu menampilkan sebuah kata yang menggambarkan para manusia itu "Kerja, Gaji, Tanggung Jawab, Jabatan, Target, Absen, dan Tugas". Aku membaca tulisan itu dan tidak bergeming. Kedua kaki yang aku miliki terasa seperti dipaku. Aku tidak bisa bergerak dan hanya berdiam diri seperti mematung. Pintu MRT memang terbuka lebar, tetapi sebagian diriku mengatakan untuk tetap diam berdiri di tempat.