Pilkada kian dekat, iklim demokrasi mulai kembali pada tingkat daerah provinsi, kabupaten/kota. KPU selaku pihak penyelenggara memiliki beberapa tantangan untuk dapat mengatur pola pelaksanaan Pilkada di tengah adaptasi New Normal , dengan tidak melepas aspek pelaksanaan Pemilukada yang harus bersih akan sarat pelanggaran hukum.
Pemerintah dan DPR telah menyepakati bahwa penyelenggaran Pilkada serentak 2020 akan dilaksanakan pada 4 Desember 2020 yang sebelumnya akan diselenggarakan pada tanggal 23 September 2020. Sebagai dasar dari penundaan tersebut terdapat pada Perpu Pilkada No 2 Tahun 2020 sebagai payung hukumnya, yang diteken oleh Presiden.
Pelaksanaan pilkada serentak akan diselenggarakan di 270 daerah terdiri dari 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 kota. Tentu beberapa gerakan kampanye sudah mulai terlihat di beberapa seluk beluk daerah, seperti biasanya baliho/banner telah turut mewarnai wajah para bacalon di sekitar lingkungan masyarakat.
Bahkan ada beberapa bakal calon yang mulai mengkampanyekan diri secara terang-terangan dengan beberapa metode tertentu dengan mematuhi protokol covid - 19, tetapi penulis tidak menampik bahwa ada beberapa tindakan kampanya yang sangat jauh akan ketentuan protokol kesehatan.
Permasalahan yang ingin di tulis Penulis tidak terletak pada patuh atau tidaknya para bakal calon pemimpin daerah dalam mengkampanyekan dirinya di tengah New Normal, tetapi ada kekhawatiran lebih dalam pelaksanaan kampanye dengan memanfaatkan fasilitas/bantuan negara dalam rangka penanganan covid - 19.
Alokasi APBN yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam penanggulangan covid - 19 tidaklah main - main,dengan menggolontorkan anggaran setidaknya 405,1 Triliun. Pasal 1 ayat (3) huruf b UU No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Pandemi Covid-19 telah memberikan pengertian terkait fungsi alokasi APBN Â untuk ' Menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan'.
Frasa perekonomian nasional, apabila ditinjau secara mendalam memberikan arti ekonomi dalam arti luas yang mencakup publik yaitu masyarakat . Faktanya dampat covid - 19 sangat sistemik, tidak hanya pada sektor kesehatan, tapi sektor ekonomi pun turut terdampak terutama pada masyarakat menengah ke bawah, termasuk UMKM.Â
Dana Bansos berupa  BLT dari pusat atau dari daerah hingga desa merupakan bagian dari fasilitas yang diberikan negara dalam hal menjawab permasalahan perekonomian nasional yang ada. Beberapa  program bantuan sosial dilayangkan oleh Pemerintah dengan mengklasifikasi dua kategori, yaitu program non reguler (4 program) dan program reguler (3 program).
Bantuan tersebut ditujukan pada segmentasi tertentu dengan ketentuan persyaratan yang berbeda-beda. Pendistribusian dana bantuan sosial dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan beberapa lembaga dengan mengupayakan kordinasi guna pemerataan penyaluran dana bansos agar tepat sasaran.Â
Alih - alih ingin memberikan angin segar dalam pemulihan dan kebutuhan ekonomi di masyarakat, masih saja terdapat para oknum yang menyalahgunakan bantuan sosial tersebut, demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Dalam artikel yang dilansir oleh detik.com, Bareskerim Polri melalui direktorat Tindak Pidana Korupsi menemukan 102 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) covid - 19 untuk warga. Kasus - kasus ini tersebar di 20 wilayah Polda di Tanah Air. Apabila dititik motifnya yang ditemukan dalam pemotongan dana dan pembagian tidak merata.
Padahal UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi telah memberikan peringatan bagi oknum yang menyalahgunakan dana penanganan covid - 19, termasuk bansos, dengan terdapa sanksi berupa hukuman mati apabila terbukti melakukan tindakan tersebut, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 2 ayat (2) 'dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan'.
Jaga Dana Bansos Tepat Sasaran Jelang Pilkada
Bagai badai yang tak kunjung mereda, iklim demokrasi mulai kembali menjelang Pilkada di tengah adaptasi New Normal. Pandemi covid - 19 belum berakhir, hingga saat ini kasus positif di Indonesia bertambah hingga 1.000 + lebih perharinya, tanpa adanya tanda - tanda penurunan penularan secara keseluruhan.
Ditinjau secara normatif yuridis dapat dikatakan Pilkada merupakan serangkaian pemilihan umum yang terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang mana terdiri dari Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokrasi (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945).
Warna baru kontestasi politik terjadi pada tahun ini, pandemi covid - 19 ini nampaknya tidak memberikan arti surut semarak pesta demokrasi di tiap daerah. Calon-calon baru nan muda mulai bertebaran, tetapi bakal calon petahana tidak kalah untuk dapat terus menjajaki karier politik di daerah.
Para pemimpin daerah terdahulu yang ingin melanjutkan karier politiknya selama dua periode mulai terlihat banyak, namun masih dalam status bakal calon.
Ditinjau secara yuridis pencalonan diri kepala daerah untuk mengikuti ajang pesta demokrasi memang dibenarkan oleh undang - undang, hanya saja bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah harus berhenti dari jabatannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal ia mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 7 ayat (2) huruf P UU 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.
Penulis sebagai calon konstituen (pemilih) sangat khawarir pada para calon petahana ataupun calon non petahana lainnya yang masih menggunakan tradisi buruk dalam melakukan gerakan kampanye yang kental akan intstrumen atau fasilitas negara.
Lebih lanjut, dana bansos yang diperuntukan untuk penanganan covid - 19 Â memiliki ruang kesempatan bagi kepala daerah yang beritikad buruk untuk dapat mempergunakan dana bansos tersebut demi kepentingan kampanye yang bersifat terselubung.
Dilansir oleh Republika.co.id dalam artikelnya berdasarkan laporan maupun hasil pengawasan Bawaslu, terdapat modus pembagian bansos dengan menempelkan gambar Kepala Daerah  yang berpotensi menjadi pejawat karena maju dalam Pilkada.
Adapun Ketua KPK Firli Bahuri sebagaimana yang dilansir oleh Gatra.com pihaknya telah menerima sejumlah laporan adanya oknum kepala daerah yang membonceng dana bansos demi kepentingan Pilkada dengan menjadikan sarana sosialisasi alat kampanye, seperti  memasang foto mereka pada bantuan sosial kepada masyarakat terkena dampak pandemi.
UU Pilkada telah memberikan 'Warning' yang jelas akan secara hukum berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada yang berbunyi " Kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih ".
Bila dimaknai ketentuan pasal tersebut telah memberikan kejelasan bahwa terdapat pelarangan hukum bagi kepala daerah  untuk menggunakan instrumen pemerintahan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Bahkan sanksinya terbilang tidak main - main pada yaitu berupa pembatalan sebagai calon oleh KPU pusat maupun daerah.
Bansos menjadi batu ujian pertama bagi kepala daerah yang ingin menjaga integritas kepimpinannya di tengah pandemi. Jangan sampai akibat satu satu titik kebaikan disebar dengan cara buruk  dan merugikan banyak pihak, dan itu adalah bansos apabila ada oknum yang tidak bertanggung jawab dan terbukti bersalah harus ditindak lanjuti secara hukum apabila memang terbukti bersalah, terlebih sanksi pidana berupa hukuman  mati bagi pelaku yang menyelewengkan dana pemerintah dalam keadaan pandemi.
Pada hakikatnya jurang demokrasi Indonesia semakin memburuk berawal dari kebiasaan yang buruk, seperti kampanye uang, serangan fajar dan penyalahgunaan kewenangan. Upaya memperbaiki perlulah dilanjutkan, bukan hanya para calon penguasa tetapi masyarakat harus turut andil dalam mengupayakan iklim demokrasi agar lebih baik.
UUD 1945 telah memberikan haluan besar bagi negara dan masyarakat untuk dapat menjalankan demokrasi yang bersih, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 22E ayat (1) Â UUD 1945 yang berbunyi ' Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali'.
Oleh karena itu pasal tersebut jangan dianggap sebagai ketentuan normatif belaka, tetapi patut dilaksanakan secara baik demi pesta demokrasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H