Mohon tunggu...
Fariza ika cahyani
Fariza ika cahyani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi uin maliki

Halo selamat membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Bimbingan Konseling pada Anak Usia Dini

16 September 2021   20:00 Diperbarui: 16 September 2021   20:15 2460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bimbingan konseling dapat diartikan sebuah penyuluhan yang dapat memberi solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Pada bimbingan konseling ini pihak yang lebih ahli atau biasa disebut konselor yang dapat memberikan solusi atas suatu permasalahan yang sedang dihadapi (Muhamad 2014). Bimbingan konseling ini sering kita jumpai dalam ranah pendidikan baik dari PAUD hingga jenjang universitas. Akan tetapi konsep bimbingan konseling dalam ranah PAUD berbeda dengan ranah universitas. 

Pelaksanaan layanan dan konseling di PAUD tentu tidaklah sama seperti pelaksanaan konseling pada ranah universitas. Anak usia dini masih sangat membutuhkan perhatian yang lebih, baik dari guru maupun orang tua. Pada prosesnya memerlukan keseriusan bagaimana membangun suasana yang nyaman bagi anak. 

Bimbingan dan konseling pada anak usia dini memiliki rentetan sejarah sebelumnya. Rentetan sejarah tersebut memberikan pandangan menjadi terbuka atas bimbingan dan konseling pada anak tersebut. Sejarah pada bimbingan anak usia dini di kemukakan oleh berbagai tokoh yang saling berkaitan. Dengan begitu dapat memberikan pandangan secara luas oleh pembaca. 

Bimbingan dan konseling pada anak usia dini dimulai sejak tahun 1880 yang diawali dengan mengemukakan konsep dasar oleh berbagai tokoh. Setelah itu dilanjut dengan pengenalan teori pada perkembangan anak usia dini pada tahun 1920. 

Setelah itu dilanjut dengan pengenalan pendekatan humanistik pada tahun 1940. Kemudian yang terakhir yakni dikenalkannya terapi perilaku pada tahun 1950 (Eka, Astuti, and cholimah 2016). Untuk kali ini saya hanya akan membahas konsep dasar, yakni sebagai berikut: 

1. Pengembangan konsep dasar (1880) (Eka, Astuti, and cholimah 2016) 

Pada pengembangan konsep dasar ini, ada 7 tokoh yang mengemukakan pernyataanya. Adapun tokohnya sebagai berikut : 

1) Sigmund Freud 

Sigmund freud merupakan seorang neurolog dan psikoanalasis. Ia berkeyakinan bahwa perkembangan anak dapat dilihat dari bagaimana cara orang tua memperlakukannya dikehidupan sehariharinya. Dari hal tersenut dapat dilihat perkembangan anak tersebut. Freud menjelaskan bahwa adanya perkembangan psikoseksual pada anak usia dini. 

Dalam pandanga freud setiap tahapan pada perkembangan psiokoseksual terfokus pada aktifitas seksual dan kesenangan yang diperoleh pada aktifitas tubuh. Adapun tahapan perkembangan psikoseksual yakni dimulai pada fase oral (0-1,5 tahun) pada fase ini, anak fokus pada aktifitas mulut misalnya menyusu dan menggigit. Pada fase ini perkembangannya harus pas jika berlebihan bisa mengakibatkan mengumpulkan pengetahuan dan harta bendadan mudah ditipu. 

Namun jika perkembangan pada fase oral tidak mengalami kepuasan atau kurang maka, anak akan mengalami tidak pernah puas, tamak memakan apa saja (merokok, menggigit ujung pensil) dan berkata kotor. Selanjutnya yakni fase anal (1,5-3tahun), pada fase ini anak mulai belajar yang namanya toilet training (melatih buang air sesuai tempatnya). 

Untuk melatih anak pada fase toilet training ini tidak boleh mengajarkanya terlalu keras, hal itu menyebabkan anak menahan fasesnya dan menjadikan anak memiliki sisfat keras kepala dan kikir. Namun sebaliknya tidak boleh membiarkan anak atau tidak melatih nya toilet training, hal ini menjadikan anak tidak teratur dan jorok dan mengakibatkan anak memiliki sifat keras dan kejam. Dengan begitu perlunya melatih anak dengan kasih sayang, mengajarkannya bahwa mengeluarkan fases ialah hal terpenting, dengan begitu dapat menjadikan anka memiliki sifat kreatif dan produktif. 

Sselaanjutnya yakni fase phallic (3-5 tahun), pada fase ini patut mengajarkan anak akan jenis kelamin. Biasanya pada fase ini anak memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi, sehingga ia ingin mencoba berbagai macam hal. Pada fase ini anak cenderung suka untuk menggesekkan area kemaluannya, hal tersebut memanglah wajar. 

Namun perlunya para orang tua untuk mengedukasikan sang anak dan mengajaknya melakukan sebuah permainan agar anak terhindar dari aktivitas tersebut. 

Selajutnya yakni fase latency (6-12 tahun) pada fase ini adalah fase tenang seksual, sehingga anak cenderung lebih mengejar prestasinya. Yang terakhir yakni fase genital (>12 tahun) pada fase ini organ reproduksi anak mulai matang, sehingga ia memilki ketertarikan dengan lawan jenis.

2) Carl Gustav Jung 

Carl gustav jung menyatakan bahwa kepribadian berkembang dari yang kita inginkan. Ia percaya bahwa seorang individu dapat berkembang untuk menuju realisasi diri. Ia mengemukakan bahwa ada 3 tahapan perkembangan individu yakni dimulai dari kanakkanak, pubertas dan dewasa muda. 

3) Alfred Adler 

Terkait perkembangan anak, alfred mengemukakan bahwa ada 3 hal yang terkait perkembangan anak, yakni perkembangan minat sosial, gaya hidup dan urutan kelahiran. 

4) Anna Freud 

Terkait perkembangan anak Anna freud menjelaskan bahwa pentingnya menjaga hubungan anak dengan orang tua akan menjadikan anak merasa aman, sehingga ego anak dapat terkondisikan. 

5) Melani Klien 

Melani klien mengemukakan bahwa terapi pada anak tidak dapat dilakukan dengan menyuruh anka melakukan sesuatu, namun perlunya untuk mengkolaborasikan kegiatan tersebut kedalam sebuah permainan, dan para terapis juga harus turut andil didalamnya. 

6) Winnicort 

Winnicort mengemukakan bahwa perkembangan sang anak dapat berkembang melalui proses transisi, yakni hubungan ibu dan anak harus tetap terjalin dan ibu juga harus ikut bermain dengan anak. haal itu dapat menyebabkan anak dapat membentuk identitas dirinya. 

7) Margareth 

Margareth berkeyakinan bahwa media bak pasir dapat membantu anak untuk mengekspresikan tentang apa yang dirasakan nya pada saat itu. Hal itu bisa dijadikan ajang untuk permainan dalam konseling dengan anak usia dini.  

Mengetahui rentetan sejarah pada bimbingan konseling ini dapat menjadikan kita untuk membuka pikiran. Sehingga kita tidak rancu dalam melatih perkembangan sang anak.

 Bimbingan konseling pada anak usia dini sangatlah bermanfaaat bagi kehidupannya mendatang. Dalam bimbingan konseling, juga dapat digunakan sebagai deteksi dini seorang anak agar permasalahan dapat segera diatasi. Dalam hal itu perlunya peran orang tua untuk terlibat dalam bimbingan konseling ini. Keterlibatan orang tua sangat berpengaruh bagi hasil dari bimbingan konseling kedepannya. 

Referensi

Eka, Rita, Budi Astuti, and nur cholimah. 2016. Model Konseling Anak Usia Dini. 1st ed. yogyakarta: rosda karya. 

Muhamad, Ferdiansyah. 2014. "Bimbingan Konseling Untuk Anak Usia Dini." Pelayanan Konseling Untuk Anak Usia Dini 12(2): 40--46.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun