Revisi UU Terorisme vs Demokrasi dan HAM
Agenda kontra terorisme memiliki payung hukum UU. No. 15/2003 masih memiliki sejumlah kelemahan dan kekurangan, dimana kelemahan dan kekurangan tersebut bermuara kurang optimalnya kinerja penegakkan hukum kontra terorisme dan menuai kritik dari aktivis pejuang HAM. Perbaikan-perbaikan UU. No. 15/2003 dan inovasi dalam hal metode kontra terorisme yang lebih fleksibel dan berorientasi pada konteks kekinian dan kenantian mutlak diperlukan.Â
Misalnya penghargaan atas HAM dan tentunya sikap yang tegas jangan sampai karena faktor HAM kita lupa bahwasanya terorisme merupakan extraordinary crime tentu juga memerlukan extraordinary approach. Pendekatan luar biasa dimaksud harus relevan dengan semangat demokrasi dan HAM sehingga efektif efisien dan humanis.
Pasca serangan terror di kawasan Sarinah (14/1/2016) yang lalu semangat melakukan revisi terhadap UU. No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kian membesar. Momentum ini harus dijadikan wake up call bagi semua pihak khususnya bagi aparat penegak hukum  dan para anggota parlemen di Komisi III DPR agar mendesain sebuah undang-undang kontra terorisme yang dapat menindak memberikan kewenangan aparat penegak hukum untuk menindak terorisme secara pereemtif, preventif dan represif tanpa mencederai nilai-nilai HAM.
Jangan sampai momentum revisi undang-undang terorisme ini jadikan alasan untuk melakukan bargaining menambahkan kewenangan-kewenangan baru yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Pernyataan Ka BIN, Sutiyoso yang bernada merengek untuk diberi kewenangan melakukan penangkapan terhadap terduga teroris patut dicurigai.Â
Tidak sedikit aparat yang menjadikan kontra terorisme sebagai komoditas yang laris dijual guna mendapatkan sokongan anggaran dalam jumlah besar dari luar negeri dan kemudian mengorbankan komitmen terhadap demokrasi dan HAM. Hal ini pernah terjadi Amerika Serikat pasca serangan 11 September 2001 (peristiwa 9/11), bahkan secara sempurna menjalankan misi rekayasa tersebut. Setelah meng
eksploitasi ketakutan masyarakat dengan peristiwa 9/11, pada 26 Oktober 2001 Pemerintah Amerika Serikat pimpinan G.W. Bush mengesahkan undang-undang yang diberi nama USA PATRIOT Act yang akronim dari: Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih, Undang-undang Bersatu Memperkuat Amerika dengan Menyediakan Peralatan untuk Mencegah dan Menggagalkan Tindakan Terorisme 2001.
US-PATRIOT Act adalah sebuah Undang-Undang federal Amerika Serikat yang memberikan wewenang (penuh) kepada pemerintah Amerika Serikat untuk mengatasi terorisme dan memberikan kekuasaan penuh kepada FBI untuk memimpin pengawasan (Surveillance) terhadap seluruh penduduk Amerika Serikat.[4]Â
Dalam konteks ini, intelijen Amerika Serikat sebenarnya mengalami kemunduran yang sangat curam. Negara yang dipuji-puji sebagai pembela HAM ternyata bisa menangkap orang hanya dengan berlandaskan kecurigaan saja, istilah semacam ini dikenal sebagai one percent doctrine[5].
Upaya inovasi dan penemuan pendekatan-pendekatan baru kontra terorisme dapat dirintis melalui mengintensifkan kerjasama intelijen antar negara (inteligence sharing) dan studi banding dengan negara-negara lain yang lebih maju dalam hal kontra terorisme tentunya dengan tetap harus mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
[1] Mbai, Ansyaad.Terobosan Hukum Dalam Peraturan Hukum dalam Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia. 28 Juli 2010
[2] Ibid
[3] Nasrullah.Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap UU. No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 4 No. I September 2005 hal 67
[4] Kashan, Sunya. 2009. The USA Patriot Act: Impact on Freedoms and Civil Liberties. College of Dupage. ESSAI: Vol.7, Article 28.
[5] One Percent Doctrine atau Cheney Doctrine adalah kebijaksn yang pertama kali diutarakan oleh Dick Cheney, Wakil Presiden Amerika Serikat pada masa Presiden G. W. Bush saat mengumandangkan kampanye war against terrorism pasca tragedi 9/11/2001. Kebijakan mendasarkan kepada kecurigaan tingkat tinggi. Jika ada 1% peluang serangan teror akan terjadi dapat segera ditindak tanpa bukti lebih lanjut. Kebijakan ini berakibat pada Islamofobia sehingga membuat umat Islam di Amerika Serikat atau yang akan bepergian ke Amerika Serikat menjadi tidak nyaman dengan berbagai tindakan yang ditempuh oleh Amerika Serikat. Yang paling konyol adalah mempersulit pengajuan visa bagi mereka yang memiliki nama identik dengan nama-nama Islam/Arab.