Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Relativitas dalam Mendefinisikan Terorisme

14 Februari 2016   19:09 Diperbarui: 15 Februari 2016   11:36 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Teror, teroris dan terorisme adalah salah satu tema besar yang kerap diangkat oleh sebuah otoritas yang sah, dalam hal ini negara yang berdaulat. Sebagai sebuah aktivitas teror, teroris dan terorisme telah menimbulkan perdebatan dan ambiguitas akibat dari perbedaan sudut pandang dalam menilainya. Teror, teroris dan terorisme dapat dimaknai sebagai kejahatan sekaligus perlawanan, penjahat sekaligus pahlawan (martir) dan sebagainya. Perbedaan makna tersebut tergantung dari sudut pandang, negara, korban, sasaran teror dan pelaku akan selalu memiliki makna yang bertolak belakang dan berlawanan.

Menurut David J Whittaker setidaknya ada empat sudut pandang yang dapat dimunculkan dalam menilai sebuah aksi terorisme. Pertama dari sudut pandang negara, negara menilai aksi terorisme sebagai tindakan kejahatan yang melanggar hukum  serta menimbulkan ketidakamanan bagi warga negara. Kedua dari sudut pandang masyarakat awam, masyarakat awam akan menilai terorisme sebagai tindakan sadis dan gila tanpa adanya rasa kemanusiaan. Hal ini timbul akibat peran pemberitaan media yang cenderung memberitakannya sebagai kecaman atas sebuah tragedi kemanusiaan. Ketiga dari sudut pandang korban, terorisme adalah perampasan terhadap hak asasi manusia terutama hak untuk memperoleh keamanan dan hak untuk hidup. Keempat dari sudut pandang pelaku, pelaku menilai perbuatannya sebagai bagian dari militansi dan perjuangan ideologinya.

Hingga saat ini kesepakatan mengenai definisi mengenai teror, teroris dan terorisme belum menemui titik temu sehingga definisi mengenai teror, teroris dan terorisme menjadi sangat relatif dan pragmatis. Relativitas dan pragmatisme dalam mendefinisikan teror, teroris dan terorisme tergantung dari siapa dan apa tujuannya dalam mendefinisikan teror, teroris dan terorisme itu sendiri. Sejak tragedi World Trade Center (WTC), 9/11/2001 telah memberikan cap teroris kepada kelompok Islam radikal dan fundamentalis. Tragedi tersebut telah memberikan pemahaman sekaligus definisi baru terhadap aktivitas teror, teroris dan terorisme.

Paling tidak tragedi 9/11/2001 telah memberikan formulasi definisi terhadap teror, teroris dan terorisme selalu dimaknai mengandung beberapa unsur diantaranya:

1.  Menyebarkan rasa ketakutan dan kepanikan

2.  Masyarakat sipil/infrastruktur sebagai sasaran

3.  Dilakukan oleh kelompok Islam radikal/fundamentalis

4.  Anti demokrasi, Amerika Serikat dan sekutunya

Politisasi terhadap definsi teror, teroris dan terorisme sedemikian jelas dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Teror, Teroris dan Terorisme sebagai Antitesis dari Ketidakadilan

Paling tidak dari telaah mendalam berbagai definisi yang ada sebagaimana diungkapkan David J Whittaker dalam Terrorists and Terrorism in the Contemporary World. Hampir semua definsi yang dicantum oleh David J Whittaker terlalu sarat subjektivitas negara sebagai aktor pembuat aturan yang cenderung tidak mau disalahkan. Dengan demikian diperlukan sebuah definisi yang mampu menjelaskan sudut pandang lain yang lebih objektif. Sehingga tidak ada lagi diskriminasi dan labelisasi negatif terhadap salah satu agama/kepercayaan (Islam). Akan lebih objektif jika terorisme didefinisikan sebagai ekspresi perlawanan melalui tindakan kekerasan dan pengrusakan dengan maksud menciptakan kepanikan beserta ketakutan yang dilakukan secara terencana dan/atau tidak terencana oleh individu/kelompok terhadap ketidakadilan dari otoritas yang sah sehingga menimbulkan efek yang dikehendaki.

Terorisme seringkali dimaknai sebagai perang asimetris yaitu perang yang tidak berimbang antara si kuat dan si lemah dalam konteks ini negara melawan invidu/kelompok (state actor vs non state actor). Terorisme dengan fleksibelitasnya adalah metode yang ampuh dalam melakukan perlawanan terhadap suatu negara dengan bermodalkan sumber daya yang serba terbatas dan tidak membutuhkan legitimasi aturan tertentu karena dilakukan oleh bukan negara (individu/kelompok) dan berjumlah tidak relatif besar.

Cara – cara teror yang cenderung tidak mengindahkan peraturan yang berlaku sangat populer dikalangan kelompok kiri yang berhaluan Marxis. Kaum Marxis menggunakan teror sebagai instrumen dalam mempertajam kontradiksi antara kelompok proletar dengan kelompok borjuis sehingga mempercepat terjadi revolusi yang mereka cita – citakan. Selama ketidakadilan masih ada perlawanan mereka akan terus ada. Begitupun  juga dengan teror, teroris dan terorisme akan selalu ada selama ketidakadilan sosial dan ekonomi masih terjadi di muka bumi. Cara – cara teror telah jauh berkembang dan telah lama diterapkan bagi individu/kelompok yang merasa tertindas, terdominasi, tersubordinasi. Jika hari ini banyak perlawanan dari kelompok Islam terhadap Amerika Serikat tidak lain tidak bukan adalah akibat hegemoni dan dominasi Amerika Serikat di dunia Islam.

Ketidakadilan sosial dan ekonomi akan bermuara kepada ketidaksejahteraan masyarakat. Masyarakat yang kurang sejahtera akan cenderung mudah untuk melakukan atau terlibat aktif dalam upaya/tindakan terorisme. Misalnya di Indonesia, rendahnya kesejahteraan adalah satu faktor yang memudahkan rekrutmen anggota bagi kelompok teroris menyebarkan radikalisme.

Terorisme telah menjadi sebuah ideologi perjuangan tersendiri bagi mereka yang lemah dan termarjinalkan dalam berjuang menuntut keadialan atas hak – hak sosial, ekonomi dan politiknya. Negara tidak akan pernah mampu memberantas terorisme hingga ke akarnya jika hanya fokus pada aspek jejaring, pendanaan dan ideologi (agama tertentu) padahal banyak sekali aktivitas teror, teroris dan terorisme yang merupakan akibat dari ketidakpuasan individu/kelompok terhadap kebijakan – kebijakan negara yang cenderung diskriminatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun