Banyak orang, baik orang miskin maupun orang kaya, di negara berkembang lebih banyak memberikan perhatian pada kehidupan mereka sehari - hari dibandingkan harus melakukan tindakan -tindakan terorisme demi kepentingan politik. Maka dari itu, penjelasan mengenai faktor – faktor penyebab timbulnya aksi terorisme di suatu negara memerlukan pengkajian lebih lanjut terkait aspek – aspek budaya, sejarah, politik, dan agama, bukan hanya ditinjau dari kondisi ekonomi dan kesejahteraannya.[7]
Memang perlu diakui bahwa faktor - faktor kondisi sosioekonomi bukanlah penyebab utama atau penyebab satu – satunya dari timbulnya aksi serangan teroris. Buktinya, tidak semua negara - negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin yang memiliki kondisi sosioekonomi yang sama dengan Indonesia memunculkan gerakan terorisme dan mengalami serangan teroris seperti Indonesia. Selain itu, walaupun jumlah orang miskin di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, sangat banyak jumlahnya (bisa jadi lebih dari lima puluh persen dari jumlah penduduk), sebagian besar penduduk bukanlah teroris atau dengan kata lain hanya sedikit sekali anggota masyarakat yang menjadi teroris.
Literatur empiris menunjukkan bahwa kemiskinan dan kondisi ekonomi tidak memiliki korelasi dengan jumlah aksi teror, teori memprediksi bahwa kemiskinan dan kondisi ekonomi yang buruk dapat mempengaruhi kualitas aksi teror yang terjadi. Dalam teori dijelaskan bahwa kondisi perekonomian yang buruk dapat mendorong orang – orang yang memiliki kemampuan lebih dan pendidikan tinggi untuk ikut serta dalam suatu aksi terorisme dan memungkinkan organisasi teror radikal mengirimkan teroris dengan kualifikasi yang lebih baik ke dalam suatu misi terorisme yang lebih kompleks dan dampak yang lebih besar.[8]
Pemaparan Benmelech, Berrebi, dan Klor (2010) bahwa tingkat pengangguran yang tinggi dan kondisi perekonomian yang buruk memungkinkan organisasi teror untuk merekrut teroris yang lebih berpendidikan, dewasa, dan berpengalaman, kontradiktif dengan pemaparan Ehrlich dan Liu (2002). Namun, apabila analisis tersebut benar adanya, maka kesimpulan ini bisa menjelaskan mengapa hanya segelintir orang yang menjadi teroris di negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk miskin yang relatif besar.
Argumen tentang faktor – faktor ekonomi sebagai pemicu terorisme ini bisa menjelaskan pemicu terorisme di Indonesia, di mana tingkat pengangguran yang masih tinggi dan kondisi kesejahteraan masyarakat yang buruk mendorong sejumlah orang berpendidikan untuk menjadi otak tindakan teroris. Namun, di sisi lain, kondisi masyarakat yang masih miskin dan berpendidikan rendah juga memudahkan teroris untuk merekrut teroris untuk melakukan serangan bom bunuh diri.
Munculnya tindakan terorisme di Indonesia merupakan implikasi dari buruknya kondisi bangsa saat ini yang membuat banyak orang frustrasi. Hal ini ditandai dengan beberapa indikator ekonomi dan politik, antara lain tindakan korupsi yang terus merajalela, ekonomi rakyat kecil yang sulit dan semakin terdesak, jaminan keamanan bagi masyarakat yang rendah (kegagalan aparatur keamanan dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat), para pemimpin pemerintahan tidak lagi mampu memberikan teladan atau contoh yang baik kepada masyarakat (buruknya moral para wakil rakyat yang semakin terekspos media), dan konspirasi global yang merugikan bangsa atau umat tertentu (seperti: konspirasi zionis, konspirasi organisasi – organisasi multilateral internasional, dan lain-lain). Indikator – indikator tersebut memunculkan anggapan bagi segelintir orang bahwa Indonesia saat ini telah menjadi negara yang gagal (failed states) di sejumlah bidang, khususnya yang terkait dengan kesejahteraan rakyat.
Munculnya anggapan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal dalam menjalankan perannya selama ini, baik dalam kesejahteraan masyarakat, penegakan hukum, maupun politik luar negeri, mendorong segelintir orang berpendidikan untuk merancang aksi terorisme. Kondisi kesejahteraan masyarakat yang rendah dan tingkat pengangguran tinggi memudahkan otak aksi terorisme tersebut untuk merekrut pelaku – pelaku terorisme lainnya, khususnya yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
Dengan demikian peran pemerintah dalam memberikan kesejahteraan warga negara tidak dapat dikesampingkan dalam upaya kontra terorisme. Kesejahteraan dan keadilan yang tercipta melalui konsep negara kesejahteran setidaknya menjadi hambatan bagi paham radikal dan rekrutmen yang dilakukan oleh kelompok teroris.
Bila kemiskinan merupakan pintu masuk menuju terorisme, maka salah satu solusi yang harus dipikirkan untuk mengatasi terorisme adalah menggunakan pendekatan ekonomi atau kesejahteraan. Logikanya, seseorang yang memiliki kecukupan secara ekonomi akan lebih mandiri dan independen sehingga tidak mudah terpapar bujuk rayu ideologi radikal-terorisme. Bagi mereka, hidup akan lebih berarti jika dijalani dengan indah bersama keluarga tercinta. Kesejahteraan ekonomi memberi mereka kesempatan untuk berbuat lebih baik bagi sesama, ketimbang melakukan perbuatan naif terorisme.
Sejatinya, pendekatan kesejahteraan sebagai upaya deradikalisasi telah dilakukan pemerintah kepada para mantan napi terorisme dan keluarganya. Melalui program rehabilitasi, mereka dibekali berbagai keterampilan untuk dapat hidup normal secara ekonomi seperti warga lain di tengah masyarakat. Namun, lagi-lagi program ini tak dapat dijalankan pemerintah semata. Perlu dukungan masyarakat baik secara moril maupun materil untuk mengantarkan para napi terorisme dan keluarganya kembali ke tengah masyarakat sebagai warga negara yang baik.
Masyarakat dengan kapasitasnya masing – masing dapat mengambil peran dalam pemberdayaan ekonomi para mantan napi dan keluarganya. Perusahaan-perusahaan juga perlu ambil bagian dengan mengarahkan program corporate social responsibility (CSR) untuk memberdayakan ekonomi mereka. Sebab, bukan hanya pemerintah yang berkepentingan terhadap keamanan dan stabilitas, dunia usaha juga sangat bergantung pada dua hal itu.