Bergadai nyawa membawaku ke dunia,
Berlapar agar aku kenyang,
Menapak jalan berdarah agar ku tidak terluka,
Sungguh hanya aku yg kurang bersyukur.
Senyummu,tawamu,marahmu,nasehatmu
Tidak pernah sehari pun berlalu tampa mengingatmu,
Ingin ku memulai semuanya kembali,
Namun, aku terlambat kerna kau tak lagi berdiri di dumia yg sama.
Dulu,kaulah org yg paling sedih dikalaku sakit,
Sekarang,kau sakit pun tak pernah ku peduli,
Dulu, kau org yg paling gembira bila ku berjaya,
sekarang,dimana diriku saat kau menangis kesepian.
Wahai ibuku yg tercinta,
Maafkan anakmu yg durjana,
Terlambat menyadari bahwa dirimu adalah segala,
Hingga aku berakhir menyakitimu sampai tiba peristiharatanmu yg panjang.
Kulit legam terbakar mentari,
Badan kurusmu menyimpan banyak rahasia,
Tak pernah berfikir untuk bermalasan lagi,
kau terus menguras jiwamu demi memberiku nyawa.
Adil, bertanggungjawab,tegas namun punya hati ,
selembut sutra,
Membayangkan dirimu saat itu ,
Membuat aku berfikir untuk memutar jam dunia ke belakang,
Tapi aku bukan Tuhan.
Dengan tubuh yg rapuh,
Kau terus memikul beban tanpa mengeluh,
Dan aku terus melupakan sakitmu,
Namun,kau terus mengingatkanku pada salahku.
Wahai ayah ku yg tersayang,
Maafkan anakmu yg penuh noda hitam,
Terlalu banyak salah yg tidak terampunkan,
Tapi kau telah berada di alam yg berbeda.
Wahai ibu wanita cinta pertamaku,
Wahai ayah pahlawan tak berseragam ,
Kalian adalah sosok tak tergantikan,
Cuma aku si anak durhaka terlambat menyadarinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H