Bahan lain seperti kobalt dan nikel juga sangat dibutuhkan dalam pembuatan baterai, tetapi penambangan bahan-bahan ini sering kali berhubungan dengan masalah sosial dan kerusakan lingkungan. Ketergantungan pada bahan-bahan alam yang terbatas ini menjadi masalah besar dalam memastikan keberlanjutan teknologi ramah lingkungan di masa depan.
Untuk mengatasi hal ini, banyak pihak yang sedang mencari alternatif bahan baku yang lebih ramah lingkungan, seperti sodium atau silikon. Namun, teknologi ini masih dalam tahap pengembangan dan belum dapat digunakan dalam skala besar.
Meski tantangan-tantangan ini cukup besar, banyak pihak yang terus bekerja untuk mencari solusi. Pemerintah, perusahaan, dan lembaga riset kini semakin banyak berkolaborasi untuk menciptakan kebijakan yang mendukung penggunaan teknologi ramah lingkungan, serta mempercepat pengembangan infrastruktur yang diperlukan.
Beberapa negara sudah mulai memberikan insentif pajak dan subsidi untuk kendaraan listrik. Selain itu, perusahaan-perusahaan teknologi juga terus berinvestasi dalam riset untuk mencari baterai alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pembangkit energi terbarukan yang lebih efisien dan jaringan pengisian daya yang lebih luas juga terus dikembangkan.
Meskipun tantangan dalam mengadopsi teknologi ramah lingkungan masih ada, solusi-solusi baru semakin bermunculan. Dengan adanya investasi yang tepat dan kerjasama antara berbagai pihak, transisi ke teknologi hijau bisa berjalan lebih cepat. Biaya yang lebih terjangkau, infrastruktur yang memadai, dan pengurangan ketergantungan pada bahan baku yang terbatas bisa membawa kita menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Oleh karena itu, penting untuk terus mendorong inovasi dan kerja sama agar teknologi ramah lingkungan bisa dinikmati oleh semua orang, di mana pun mereka berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H