Mohon tunggu...
Muhammad Faris Ibrahim
Muhammad Faris Ibrahim Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seekor kutu di bulu kelinci dalam topi, yang berharap suatu saat, dapat menatap mata si tukang sulap.

Hanya manusia biasa, yang punya cita-cita bisa masuk rumah sakit jiwa, karena membaca.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

(Berharap Lebih dari) Sekedar Persuaan Singkat di Rangkaian

17 Juli 2019   12:18 Diperbarui: 17 Juli 2019   23:47 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joko tak mau berlama- lama. Toh, tugasnya hanyalah menyampaikan pesan atasan, "seseorang tak seharusnya berada di kereta ini, yang perlu kau lakukan adalah menemukannya, itu saja."  

"Aku benar- benar tak paham," kata Bowo sekali lagi kebingungan.

Joko terus saja melanjutkan- tak peduli, "orang itu dikenal dengan nama Pryne, di tasnya ada sebuah barang yang tak semestinya ia bawa. Kau temukan dia, temukan apa yang berada di tasnya, uang 100. 000 Dolar menjadi milikmu." Tegasnya menutup, sambil menambah nominal.

Kereta melereng perlahan- lahan, Joko kemudian berdiri mengambil ancang- ancang, bersiap untuk melangkah keluar.

"Apakah ini serius?," Bowo masih juga tidak percaya.

"Temukan dia, semua uang itu jadi milikmu," dedas Joko untuk terakhir kali, kemudian melanglang pergi- berbaur dengan keramaian.   

Kalaulah persuaan itu, benar- benar seperti yang tergambar di film itu, baru benar- benar politik. Kesan yang kental benar- benar nuansa kill or to be killed. Setelah percakapan itu, Bowo yang terbuai oleh sekantung uang di selipan kotak di Toilet, langsung kesetanan buru- buru mengantongi temuannya. Kiranya hanya bercanda, ternyata ada konsekuensinya- istri dan anak semata wayangnya ternyata disandera. Dari sekian banyak penumpang di kereta- akhirnya mau tidak mau- Bowo harus mencari seseorang bernama Pryne itu, atau kemungkinan terburuk akan menimpa sanak keluarganya.

Kalau jalan ceritanya seperti ini, kan jadi lebih seru. Kebayang bagaimana kemampuan fisik Prabowo yang sempat ter-alibikan oleh infografis perut yang tidak mendukung, tiba- tiba terhanyut dilupakan begitu saja oleh khalayak karena aksi- aksi kerennya di rangkaian. Berseteru hebat dengan agen federal terlatih, loncat sana- sini lintas gerbong, sampai menghentikan kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawa penumpang. Itu semua, pasti menjadi tontonan menarik yang layak diberi tepuk tangan, lady Frances pasti senang bukan kepayang.  

Bukankah begitu seharusnya politik yang kita tengarai? Rasanya tak berkesudahan. Penuh siasat, menyingkirkan atau disingkiran seperti kejadian demi kejadian di film The Commuter. Atau, mungkin, lebih tepatnya seperti yang dikatakan masinis di kereta tersebut- mencoba menarik kesimpulan, "jika kereta ini tak membunuhku, mungkin seseorang yang akan membunuhku." Tepat sekali, seperti panggung politik, kalau bukan panggungnya yang menyulap para politisi menjadi binatang tamak, teman- teman sekeliling lah yang pada akhirnya yang berubah jadi penghianat- mencampakkan sesama, tega.

Namun memang sayang, yang dikesimpahkan media hanyalah lukisan ramah- tamah penuh hangat canda tawa. Detail- detai lukisan wajah Jokowi dan Prabowo yang penuh kerutan penuaan, seakan luput ditelan kilau lensa kamera. Begitu pun nuansa politik yang kejam itu, yang tadinya memaksa mereka saling mencakar secara verbal satu sama lain fisik maupun metafisik- pasca bersuaan di rangkaian, pemandangan itu berlarut- larut memudar seperti bubuk detergen yang digoyang hebat oleh kipas di mesin cuci. 

Namun siapa yang tahu, bagaimana carut- marut yang beredar di sebalik panggung drama itu. Menafsirkan sikap politik mereka para politisi, memang seperti melukis di atas padang pasir, lambat laun pasti nanti tertiup hembusan angin, berubah menjadi kepulan debu. Politik memang benar- benar menegaskan ke- makhlukkan manusia- sebagai ciptaan Tuhan yang terus berubah- rubah. Tak heran politisi, sikapnya selalu saja tidak menentu; wajar, karena mereka hanyalah makhluk seperti mana kita semua. Makhluk sekali, apalagi kalau sudah urusan koalisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun