Ketika para politisi bersikeras memutar otak untuk mengokohkan singgasana kekuasaan, rakyat cerdas haruslah seperti universitas yang selalu punya cara mengurai pemapanan- memunculkan kemungkinan- kemungkinan baru sebagai bahan konsumsi alternatif. Dan alternatif itu, tidaklah usah melulu tentang solusi menjanjikan. Bolehlah juga, upaya menafsir gelagat lucu para tuan politisi itu adalah dengan menerbitkan kemungkinan- kemungkinan yang dapat mendongkrak budaya literasi kita- menghidupkan imajinasi. Â Â
Ketika Jokowi dan Prabowo bertemu di satu rangkaian, apa salahnya jika kita berusaha membayang suatu atraksi imajinasi menghibur di sebaliknya. Toh, pertemuan itu seperti teka- teki silang yang mereka buat untuk kita rakyat awam. Mereka yang membuatnya merasa sederhana saja, namun kita yang mengerjakan, malah dibuat susah memecahkan. Namun, di situlah letak hiburannya, ketika kita memaksimalkan kerja otak untuk menciptakan kemungkinan- kemungkinan. Teka- teki yang mereka buat, jadi bukan sekedar demagogi, melainkan juga jadi lumbung imajinasi. Di situlah nilai edukasinya.
Bukankah menyenangkan menafsir politik kita dengan ragam kemungkinan? Seperti Lady Frances Derwent di serial Agatha Christie, yang selalu membesar- besarkan kejadian menjadi misteri mendebarkan. Pertemuan Jokowi- Prabowo, layak di-seperti- itukan. Rakyat cerdas jangan hanya meniliknya dengan indera penuh keterbatasan. Pertemuan itu seperti Bulan, kalau kita hanya melihatnya dengan mata dari kejauhan, bentuknya jadi amat kecil. Namun, apabila kita melihatnya dengan mata pengetahuan- absahlah pertemuan itu merupakan perkara yang amat besar.
Pastilah seru lagi menyenangkan, kalau kita membaca pertemuan keduanya dengan pembacaan ala cerita- cerita aksi penuh misteri. Terbayang kalau Lady Frances yang didaulat mendapat kesempatan membaca peristiwa itu, pasti ia akan dengan senang hati berkelakar liar dengan analisis kasusnya yang gila. Seandainya umurnya tiba sampai dengan tahun 2018- mengulas pertemuan itu, pasti mengigatkannya dengan percakapan menarik Liam Neeson dan Vera Farmiga di film The Commuter yang sarat mengundang rasa penasaran.
Anggaplah Prabowo adalah Liam Neeson di film itu- toh lagi sama- sama diterpa masalah keuangan. Prabowo yang lagi asyik- asyiknya mendaras The Grapes of Wrath-nya Steinback, tiba- tiba terhenyak oleh kedatangan Jokowi yang memotong lamunannya sambil memberi isyarat- meminta izin untuk duduk berhadapan dengannya.
Vera Farmiga yang diperankan oleh Jokowi adalah pribadi yang murah senyum-persis sama, senyumnya manis pula. Namun di situ, perannya tentu bukan hanya mengajak Prabowo berbincang- bincang tentang buku di pangkuannya (toh, ia juga terkenal sebagai pribadi yang tidak gemar membaca novel). Jokowi tahu duduk masalah keuangan yang tengah dihadapi Prabowo, oleh sebab itu ia menawarkan sebuah simulasi sederhana.
"Bagaimana jika aku memintamu melakukan satu hal kecil?," kata Joko- mencoba memikat rasa ingin tahu Bowo.
"Ini sesuatu yang pasti bisa kau lakukan," lanjut Joko meyakinkan (secara gitu, kan doi intel- ceritanya- jadi dia udah tahu, Bowo mantan anggota pasukan khusus).
"kalau boleh tahu, hal semacam apa itu?". Nampaknya Bowo mulai terlihat terpancing, padahal ia hanya berusaha terlihat antusias saja.
Sambil menjinjitkan kedua alisnya, Joko berbisik pelan-pelan,"di kamar mandi, gerbong kedua, mungkin.. ada suatu paket, tersembunyi. Di dalam paket itu, terdapat 25.000 Dolar"
"Tunggu.. tunggu," Bowo memotong pembicaraan, "aku kira ini adalah sebuah simulasi sederhana," kiranya kebingungan.
Joko tak mau berlama- lama. Toh, tugasnya hanyalah menyampaikan pesan atasan, "seseorang tak seharusnya berada di kereta ini, yang perlu kau lakukan adalah menemukannya, itu saja." Â
"Aku benar- benar tak paham," kata Bowo sekali lagi kebingungan.
Joko terus saja melanjutkan- tak peduli, "orang itu dikenal dengan nama Pryne, di tasnya ada sebuah barang yang tak semestinya ia bawa. Kau temukan dia, temukan apa yang berada di tasnya, uang 100. 000 Dolar menjadi milikmu." Tegasnya menutup, sambil menambah nominal.
Kereta melereng perlahan- lahan, Joko kemudian berdiri mengambil ancang- ancang, bersiap untuk melangkah keluar.
"Apakah ini serius?," Bowo masih juga tidak percaya.
"Temukan dia, semua uang itu jadi milikmu," dedas Joko untuk terakhir kali, kemudian melanglang pergi- berbaur dengan keramaian. Â Â
Kalaulah persuaan itu, benar- benar seperti yang tergambar di film itu, baru benar- benar politik. Kesan yang kental benar- benar nuansa kill or to be killed. Setelah percakapan itu, Bowo yang terbuai oleh sekantung uang di selipan kotak di Toilet, langsung kesetanan buru- buru mengantongi temuannya. Kiranya hanya bercanda, ternyata ada konsekuensinya- istri dan anak semata wayangnya ternyata disandera. Dari sekian banyak penumpang di kereta- akhirnya mau tidak mau- Bowo harus mencari seseorang bernama Pryne itu, atau kemungkinan terburuk akan menimpa sanak keluarganya.
Kalau jalan ceritanya seperti ini, kan jadi lebih seru. Kebayang bagaimana kemampuan fisik Prabowo yang sempat ter-alibikan oleh infografis perut yang tidak mendukung, tiba- tiba terhanyut dilupakan begitu saja oleh khalayak karena aksi- aksi kerennya di rangkaian. Berseteru hebat dengan agen federal terlatih, loncat sana- sini lintas gerbong, sampai menghentikan kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawa penumpang. Itu semua, pasti menjadi tontonan menarik yang layak diberi tepuk tangan, lady Frances pasti senang bukan kepayang. Â
Bukankah begitu seharusnya politik yang kita tengarai? Rasanya tak berkesudahan. Penuh siasat, menyingkirkan atau disingkiran seperti kejadian demi kejadian di film The Commuter. Atau, mungkin, lebih tepatnya seperti yang dikatakan masinis di kereta tersebut- mencoba menarik kesimpulan, "jika kereta ini tak membunuhku, mungkin seseorang yang akan membunuhku." Tepat sekali, seperti panggung politik, kalau bukan panggungnya yang menyulap para politisi menjadi binatang tamak, teman- teman sekeliling lah yang pada akhirnya yang berubah jadi penghianat- mencampakkan sesama, tega.
Namun memang sayang, yang dikesimpahkan media hanyalah lukisan ramah- tamah penuh hangat canda tawa. Detail- detai lukisan wajah Jokowi dan Prabowo yang penuh kerutan penuaan, seakan luput ditelan kilau lensa kamera. Begitu pun nuansa politik yang kejam itu, yang tadinya memaksa mereka saling mencakar secara verbal satu sama lain fisik maupun metafisik- pasca bersuaan di rangkaian, pemandangan itu berlarut- larut memudar seperti bubuk detergen yang digoyang hebat oleh kipas di mesin cuci.Â
Namun siapa yang tahu, bagaimana carut- marut yang beredar di sebalik panggung drama itu. Menafsirkan sikap politik mereka para politisi, memang seperti melukis di atas padang pasir, lambat laun pasti nanti tertiup hembusan angin, berubah menjadi kepulan debu. Politik memang benar- benar menegaskan ke- makhlukkan manusia- sebagai ciptaan Tuhan yang terus berubah- rubah. Tak heran politisi, sikapnya selalu saja tidak menentu; wajar, karena mereka hanyalah makhluk seperti mana kita semua. Makhluk sekali, apalagi kalau sudah urusan koalisi.
Makanya akan lebih menyenangkan kalau kita- rakyat yang nasibnya selalu di-politisasi waktu ke waktu menilik bumbu- bumbu sikap politik mereka para politisi sebagai sebuah rahasia saja. Hanya dengan kacamata seperti itulah kita jadi bisa memungkinkan tumbuhnya ragam percakapan- percakapan imajiner yang amat sangat bergizi memupuk budaya literasi kita, yang punya peranan penting menghidupkan imajinasi bangsa. Toh, itu juga adalah sebentuk sumbangsih kita membantu tugas utama mereka para politisi- mencerdaskan kehidupan bangsa.
Allahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H