Sayang seribu sayang, fungsi sosial media sebagai penyambung lidah ekspresi kedirian dengan jujur, yang mana para nenek moyang susah menemukan hal- hal semacam itu zaman batu dulu, hari ini malah latah disalahgunakan. Dufresne dan anak tongkrongannya lebih memilih menjadi hamba pasar yang menjajakkan dirinya sesuai pesanan khalayak awam, menghianati jadi diri sendiri.Â
Mereka yang ngebet mau terus ditaksir sebagai ustadz (karena prestise-nya yang tinggi di mata manusia Indonesia), tinggal rajin- rajin selfie pakai peci, sambil konsisten shar-sher potongan ceramah da'i- da'i kondang. Benar salah, hoax atau bukan, itu urusan belakangan.
Makanya, sosial media sejatinya tak ubahnya seperti penjara Shawshank apabila tuan pengampunya, tak mampu bijaksana menghuninya. Yang kasat mata memang terlihat berbatas, namun sejatinya yang ketidakberbatas amat sangat luas di sana.Â
Alih- alih jadi pundak ratapan tempat satu- satunya mengadu tentang ekspresi diri yang jujur, bagi Dufresne dan anak tongkrongannya, sosial media tak ubahnya seperti dinding penjara, tempat mengukir dengan konsisten sebuah rahasia pribadi: "Di dunia nyata aku adalah orang yang kalem, tak begitu banyak kalam. Di dunia maya, aku malah belajar, untuk melampiaskan sisi- sisi kelam."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H