"Red, mau tahu sesuatu yang lucu?," tawar Dufresne di sela- sela almari buku. Alisnya mendongak, bahunya terangkat, Red nampaknya sepenuh hati tertarik ingin mendengar. Dufresne tertawa, sedikit menyeringai layaknya penjahat, wajahnya melandai dekat, sambil memelankan suaranya di sela rak, Dufresne mulai berbisik menyasar daun telinga Red, kata dia: "Di luar aku adalah pria yang jujur. Masuk penjara aku malah mulai (belajar) jadi penjahat."Â
Bagi yang sudah pernah nonton film The Shawshank Redemption besutan Frank Darabont, pasti sudah tidak asing lagi dengan dialog menarik Tim Robbins dan Morgan Freeman di atas, tepatnya saat mereka beres- beres buku di perpustakaan penjara. Film yang diadaptasi dari novel Stephen king itu, membawa narasi yang benar- benar baru lagi unik untuk film sezamannya. Tak ayal, Empire- majalah kenamaan Inggris-  berani mendaulat film tersebut, sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa.
Stephen King memang jagonya soal ramu- meramu alur cerita yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi untuk karyanya yang satu ini, sepertinya bukan itu tujuannya. The Shawshank Redemption malah kentara muatan kritik sosialnya. Selain tertuju pada kaum elit yang semena- mena, karyanya itu juga boleh jadi adalah sindiran yang coba menggelitik kaum hipokrit (yang selalu ingin terlihat) baik, padahal, punya sisi jahat yang selalu coba disirat rapat- rapat.
Dari karyanya itu, Stephen King mungkin mau bilang pada orang- orang, bahwa:Â "setiap yang kalem, pasti punya sisi kelam." Belakangan hari ini banyak orang- orang semacam itu. Seperti Dufresne, yang sebenarnya orang baik- baik, namun karena pas masuk penjara dirumbung kesempatan untuk berbuat jahat, maka bersambutlah gayung- dari aksi pencucian uang (secara gitu, kan doi mantan direktur bank), sampai upaya membobol penjara, akhirnya Dufresne tenggelam dalam kelam. Absahlah ceramah si Red kepadanya: "Di penjara, orang- orang akan melakukan hal apapun demi mengisi waktunya."
Belakangan hari ini, pribadi- pribadi yang se-genus dengan Dufresne, punya banyak opsi posisi untuk bisa menjajakkan dustanya. Dusta untuk pamer sisi baik diri, sambil menjaga jarak, menyirat sisi jahat. Boleh jadi salah satu yang paling menjanjikan adalah di sosial media. Sosial media, hampir serupa mirip dengan penjara Shawshank- terlihat tertutup rapat, dengan kawat tajam menjalar berkeliling, penjaga dengan segala kaliber senjata, namun Dufresne, dapat dengan mudahnya mendapatkan poster seksi Hayworth Rita di sana.
Ya, di sosial media, tembok dan kawat berduri seperti itu juga ada. Kebijakan privasi boleh jadi adalah hal semacamnya. Seakan menjamin hak- hak privasi, ditambah embel- embel kata bijak lagi.  Padahal, hari ini, bagi Dufresne dan yang sekategori dengannya, di tengah gulita, sambil diguyur sinar telepon pintar yang menusuk retina mata, dalam sekejap, kebijaksanaan mereka bisa luput ditelan malam. Sambil rebahan santai, mereka bisa berfantasi dengan wajah idola idaman mereka, di negeri gingseng korea sana, yang bermil- mil jauhnya. Kejahatan menjadi amat sangat instan ketika telepon pintar bereda di genggaman mereka.  Â
Di sosial media, moral bisa tergadai tanpa disangka. Orang- orang seperti Dufresne bisa seenaknya masuk ke rumah tetangga tanpa basa- basi permisi. Apalagi kalau pemiliknya dengan senang hati mempersilahkan masuk, tanpa mengunci pintunya (akunnya tidak di-privasi-kan misal). Dufresne pasti akan dengan girang hati berlari menuju almari buku tetangganya itu, mengambil album foto, menjelajahi halaman perhalamannya, dan berakhir lagi- lagi dalam fantasi. Kan ngeri.
Dufresne dan kerabatnya mungkin akan pikir-pikir lagi soal perilakunya di dunia maya, kalau tahu seperti apa  sih kelakuan mereka sejatinya di dunia nyata. Contoh sederhana ungkapan follow misalnya. Apa sih terjemahan yang paling pas bagi kata yang satu ini di dunia nyata? Kalau saya pribadi sih, langsung terbayang video klip "Menghapus Jejakmu." Kebayang gak sih, jadi, orang yang gemar mem- follow itu artinya orang yang suka ngikut- ngikut ke mana pun yang di- follow-nya pergi. Ke kantor, pemandian umum, hatta mungkin ke WC. Apakah wajar kelakuan seperti itu terjadi di dunia nyata? Di dunia maya, semua bisa. Â
Kasus lainnya ada di kata comment. Apa sih terjemahan kata yang pas buat kata yang satu ini di dunia nyata? Mungkinkah perilaku seperti ini: di amben ibu RT, ada sekumpulan emak- emak lagi berbincang seputar harga cabe yang mendadak meroket di tukang sayur langganan, tiba- tiba Dufresne datang ikut nimbrung comment, "iya- iya, bener ibu- ibu. Mahal  bener harganya. Udah, mendingan jangan beli di sana lagi, beli ke emak saya aja." kira- kira bagaimana ekspresi para emak mendengar comment si Dufresne ini yang sembrono. Boro- boro kenal, tiba- tiba ikut nimbrung ngerumpi, di obrolan (status) emak- emak lagi. Dengan standar dunia nyata, apakah kelakuan seperti itu wajar?  Â
Ya begitulah pokoknya. Di sosial media, batas- batasan privasi yang seakan menjulang tinggi seperti tembok penjara Shawshank, bisa dengan mudah dibobol oleh Dufresne dan spesiesnya. Ceramah moral di sosial media oleh para tuan aplikasi seperti sumpah serapah politisi demagogi. Tidak ada yang peduli. Dufresne bisa melakukan apa saja di dunia maya. Ihwal-ihwal tabu yang mustahil dilakukan di dunia nyata seperti: nerobos rumah orang, ngikut-ngikut orang ke mana pun pergi, sampai nimbrung di obrolan orang- orang tak dikenal. Semua ketidakwajaran itu, diam- diam, bisa dilakukan Dufresne dan kawan- kawannya sebagai pelampiasan, tanpa seorang pun (perlu) tahu.
Kasus lain yang tak kalah kelam dengan contoh- contoh di atas adalah fakta bahwa di (penjara) sosial media, Dufresne dan spesiesnya bisa tanpa ragu menjajakkan dusta. Alih- alih menampilkan kediriannya yang sebenarnya, mereka malah menampilkan kedirian yang dirasa seirama dengan selera pasar. Pasar membutuhkan pujangga, mereka siap mengukir kata- kata cinta di dinding (penjara) sosial medianya. Sehari sekali. Atau dua dan tiga juga tak mengapa. Bahkan lima kali sehari pun seperti sholat wajib mereka sanggupi; demi mendapat predikat pujangga di mata masyarakat (apalagi calon mertua).
Sayang seribu sayang, fungsi sosial media sebagai penyambung lidah ekspresi kedirian dengan jujur, yang mana para nenek moyang susah menemukan hal- hal semacam itu zaman batu dulu, hari ini malah latah disalahgunakan. Dufresne dan anak tongkrongannya lebih memilih menjadi hamba pasar yang menjajakkan dirinya sesuai pesanan khalayak awam, menghianati jadi diri sendiri.Â
Mereka yang ngebet mau terus ditaksir sebagai ustadz (karena prestise-nya yang tinggi di mata manusia Indonesia), tinggal rajin- rajin selfie pakai peci, sambil konsisten shar-sher potongan ceramah da'i- da'i kondang. Benar salah, hoax atau bukan, itu urusan belakangan.
Makanya, sosial media sejatinya tak ubahnya seperti penjara Shawshank apabila tuan pengampunya, tak mampu bijaksana menghuninya. Yang kasat mata memang terlihat berbatas, namun sejatinya yang ketidakberbatas amat sangat luas di sana.Â
Alih- alih jadi pundak ratapan tempat satu- satunya mengadu tentang ekspresi diri yang jujur, bagi Dufresne dan anak tongkrongannya, sosial media tak ubahnya seperti dinding penjara, tempat mengukir dengan konsisten sebuah rahasia pribadi: "Di dunia nyata aku adalah orang yang kalem, tak begitu banyak kalam. Di dunia maya, aku malah belajar, untuk melampiaskan sisi- sisi kelam."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H