Mohon tunggu...
Farih LintangJati
Farih LintangJati Mohon Tunggu... Konsultan - Pelajar

SEMANGAT

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Soegijapranata dan Van Lith, 2 Misioner yang Terterpa Isu Rasisme

15 Desember 2020   15:07 Diperbarui: 15 Desember 2020   15:27 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Van Lith sumber : majalah.hidupkatolik.com

Salam para pembaca yang budiman, semoga anda selalu diberikesehatan dan berkat yang melimpah, kali ini dalam tulisanartikel ini dimana akan membahas mengenai suku, agama, ras dan antargolongan yang dimana disini kerap disingkat menjadi SARA.

            Pada tulisan ini anda akan diajak untuk fokus terhadap SARA tersebut namun lebih mengarah kepada isu rasisme. Di dalam kasus ini terjadi sebuah hal yang paling mendasari itu semua, yakni pengelompokan ras yang cukup bermacam macam seperti yang ada di Indonesia ini dengan keberagaman suku budaya dan ras. Hal ini terjadi dan sudah dilakukan sejak dari zaman dahulu hingga sekarang. Namun yang menjadi focus dalam pengelompokan ras pada zaman sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa faktor, yakni warna kulit, warna kelopak mata, warna iris, bahasa dan bentuk tubuh. Hal tersebut menunjukan bahwa memang di masa sekarang ini cenderung lebih memperhatikan bentuk fisik, bukan dari derajat ekonomi dari orang tersebut (Ryan, 2012: h.110).

            Akibat dari pengelompokan ini, kerap terjadi sebuah tindakan yang negatif, karena pandangan masyarakat yang cenderung enggan untuk menerima perbedaan dank arena permasalahan tersebut sudah menjaditurun temurun di masyarakat. Seperti yang diambil contohnya disini adalah kedua film yang secara relatif bertemakan sama yakni sebuah perjuangan tentang para gembala umat Allah yakni Romo Van Lith dan Uskup mgr Soegijapranata. Keduanya memiliki latar film yang beada di era pra kemerdekaan Indonesia.

            

sumber : sesawi.net
sumber : sesawi.net
Penjelasan dari film ini sebagai komunikasi massa adalah film dapat merupakan sebuah bentuk nyata dari komunikasi massa, mengapa? Karena film ini cenderung berbasis media elektronik yang dapat menghasilkan audio dan visual, kedua hal ini dapat menujukan adanya kata dan citra dan dipadukan dalam satu kesatuan sehingga cenderung mudah diterima masyarakat karena mendapatkan sebuah penjelasan yang lengkap ketika dihadapkan dengan 2 faktor tadi yakni audio dan visual (Sobur, 2004, 126).

            Sedangkan komunikasi massa sendiri merupakan sebuah cara komunikasi yang bisa melalui media yang sering digunakan massa yang dapat berupa surat kabar, televisi, radio dan tentu juga film. Seluruh media ini mempunyai cakupan yang sangat luas dan bisa menjangkau masyarakt dalam jumlah yang banyak maka ia dinamakan komunikasi massa Effendy (1993:91). Film juga berfungsi sebagai media yang memberikan berbagai manfaat seperti hiburan. Namun tidak hanya berupa hiburan saja, masih banyak hal lain manfaat yang dapat diberikan oleh film yakni dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran terhadap kaum usia dini. Hal-hal tersebut dimunculkan kedalam film agar masyarakat dapat bisa mengerti pesan apa yang disampaikan di dalam film tersebut  (Effendy 1993:209).

            Ada satu fungsi film menurut Ron Mottam yang dapat diambil untuk dipelajari disini adalah menjadi sebuah seni atau art yang juga memiliki fungsi sebagai narasi, dikarenakan film dapat menyajikan sebuah kejadian yang saling memiliki keterkaitan secara visual dalam mengkonstruksikan suatu kisah (Ibrahim, 2007:171). Hal ini tentu menjadi cocok dengan bahasan dalam artikel ini karena disini membahas kedua film yang sarat akan makna dan perjuangannya, Bethlehem Van Java dan Soegija. Kedua film tersebut menceritakan ulang bagaimana kehidupan para rohaniwan tersebut menghadapi cobaan seperti isu rasisme yang melanda mereka sehingga menghambat dan memperlambat laju perjuangan mereka.

            Kembali ke topik utama kita mengenai isu rasisme, ya rasisme sering terjadi di kalangan masyarakat, tidak menutup kemungkinan juga terjadi di masyarakat Indonesia yang memiliki banyak keberagaman suku dan budaya. Manusia diciptakan Tuhan bermacam macam mulai dari karakter hingga ciri fisik, mungkin kalian bisa mengetahui mulai dari lingkungan terdekat seperti di lingkungan sekitar masyarakat mulai dari tingkat desa mungkin tetangga pembaca sekalian ada yang memiliki rasa tau kelahiran dari bermacam-macam pulau seperti Sunda, Jawad an Tionghoa.

            Lalu hal apa yang menjadi faktor utama terjadinya rasisme di tengah masyarakat? Tentu hal ini dapat terjadi dimana suatu ras tau orang-orang yang merasa diri mereka memiliki kekuatan untuk menjadi superior di lingkungan mereka. Sehingga mereka memandang rendah atau sebelah mata dari kaum minoritas yang ada di bawah mereka. Seperti yang bisa kita lihat apabila anda sudah pernah menonton kedua film ini yakni Bethlehem Van Java dan Soegija, film ini juga diselipkan adanya isu rasisme dimana Romo Van Lith adalah missioner yang berasal dari Belanda, ia mendapatkan penolakan dari masyarakat sekitar di kota Muntilan karena menolak kedatangan warga kulit putih. Sama halnya juga yang terjadi di film Soegija dimana uskup Soegijapranata adalah uskup pribumi pertama yang ditahbiskan sebagai uskup di Keuskupan Agung Semarang, dimana saat itu ia juga mendapat cemoohan dan cibiran karena warga Belanda yang meragukan adanya Uskup pribumi yang memiliki kulit coklat dan berbahasa Jawa.

            

Romo Soegijapranata sumber: sesawi.net
Romo Soegijapranata sumber: sesawi.net
Kedua film ini memberikan gambaran bagaimana kehidupan para rohaniwan yang berhadapan dengan rasisme di tengah mereka namun mereka tetap berjuang untuk dapat melaksanakan perintah Tuhan yakni menyelamatkan umat manusia. Fungsi film disini adalah dapat mampu untuk menjadi tempat komunikasi yang dapat mempengaruhi masyarakat melalui gambar yang ditampilkan, menurut Graeme Turner mengatakan bahwa arti film berguna sebagau representasi realitas yang terjadi di masyarakat. Maka film menghadirkan atau menceritakan cerita yang ada dengan dikumpulkannya kebudayaan dan ideologi yang ada (Sobur, 2003:127-128).

            Dalam zaman sekarang yang sering disebut zaman globalisasi ini media memiliki peran utama dalam arus penyebaran informasi. Karena keefektifannya dalam mempengaruhi seseorang dan khalayak.

            Teori imperialsm culture ini sangat cocok dibahas di dalam penjelasan ini karena sangat berkaitan dengan kedua film tersebut. Menurut Rauschenberger (2003) Imperialisme budaya ini pertama kali muncul di saat era perang dunia kedua, pada saat itu namanya adalah neo-colonialsme. Di dalam teori ini menjelaskan bahwa terjadinya superioritas yang dimiliki oleh beberapa negara maju seperti bangsa barat yang datang ke benua asia. Karena warga masyarakat barat ini mempunyai teknologiyang maju sehingga mereka memiliki superioritas terhadap dunia ketiga.

            

Romo Van Lith dan Romo Soegijapranata sumber : sesawi.net
Romo Van Lith dan Romo Soegijapranata sumber : sesawi.net
             Di dalam kedua film ini juga timbul sebuah benang merah yang menunjukan bahwa masyarakat di Jawa pada saat itu tidak menyukai kedatangan missioner berkulit putih untuk mengajarkan agama katolik. Disaat itu muncul karena pandangan masyarakat Jawa yang memiliki persepsi bahwa bangsa barat memiliki superioritas sehingga mereka menolaknya. Tidak berbeda jauh dengan film Bethlehem Van Java ini, film Soegija juga dapat memiliki arti superioritas dimana bangsa Belanda saat itu ditunjukan di dalam film dengan bahwa mereka meragukan adanya uskup pribumi yang ditahbiskan karena mereka memandang masyarakat pribumi rendah karena mereka merasa diatas mereka.

            Kendati demikian, isu rasisme yang ada menerpa kedua missioner tersebut dengan berat namun mereka tetap melanjutkan perjuangan menegakkan kemanusiaan. Disini saya akan mengutip kata-kata legendaris yang dituliskan oleh Soegija yakni bahwa kemanusiaan itu satu, walaupun ada perbedaan budaya, bangsa maupun ragamnya.

Daftar pustaka

Richard, M. Ryan and Deci Edward L. (2000). Intrinsic and Extrinsic Motivations: Classic Definitions and New Directions. Contemporary

Educational Psychology 25: 54-67.

Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT

Citra Aditya Bakti

Cateridge, J. (2015). Film Studies For Dummies. [VitalSource Bookshelf]. Dilhat dari

https://bookshelf.vitalsource.com/#/books/9781118886564/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun