pemekaran wilayah merupakan pemecahan daerah provinsi, atau daerah kabupaten, atau daerah kota menjadi beberapa atau lebih dari satu wilayah.
Dilansir dari artikel yang diterbitkan di situs resmi DPR RI,Pemekaran wilayah di Indonesia terjadi secara signifikan pada masa Reformasi, atau sejalan dengan di-sah-kannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pengesahan UU tersebut bertujuan untuk meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Sebelum adanya kebijakan mengenai pemekaran wilayah atau desentralisasi pada era Reformasi, Indonesia telah mengalami pemekaran wilayah puluhan tahun sebelumnya.
Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan, tepatnya pada tahun 1950-an wilayah Indonesia khusunya Provinsi Sumatera Tengah mengalami pemekaran wilayah.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemekaran wilayah tersebut, baik itu faktor politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
Pada tulisan ini akan dipaparkan mengenai berbagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya pemekaran wilayah di Provinsi Sumatera Tengah pada tahun 1950-an dengan merujuk pada tulisan Gusti Asnan pada buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa yang berjudul "Berpisah untuk Bersatu Dinamika Pemekaran Wilayah di Sumatera Tengah Tahun 1950-an".
Namun, sebelumnya perlu diketahui bahwa Provinsi Sumatera Tengah merupakan provinsi yang terdiri dari 3 keresidenan, yakni Keresidenan Sumatera Barat, Keresidenan Riau, dan Keresidenan Jambi.
Keresidenan merupakan suatu wilayah yang kedudukannya satu tingkat di bawah provinsi dan dipimpin oleh seorang residen. Keresidenan terdiri dari beberapa wilayah yang disebut dengan kabupaten.
Merujuk pada UU No. 10 tentang Pemecahan Sumatera Menjadi Tiga Provinsi (yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan), jumlah kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Tengah diputuskan sebanyak 12 kabupaten. Dengan rincian, 7 kabupaten berada di keresidenan Sumatera Barat, 3 kabupaten berada di keresidenan Riau, dan 2 kabupaten berada di keresidenan Jambi.
Faktor Politik dan Ekonomi yang Mendorong Masyarakat Riau dan Jambi Ingin Memisahkan Diri dari Sumatera Tengah
Dominasi jumlah kabupaten di Keresidenan Sumatera Barat menyebabkan ketidakpuasan pada masyarakat Riau dan Jambi. Hal ini karena suara rakyat akan didominasi oleh masyarakat Sumatera Barat karena mereka memiliki perwakilan yang dominan dibandingkan dengan perwakilan Riau maupun Jambi.
Apalagi posisinya kini pusat pemerintahan provinsi Sumatera Tengah terletak di Bukittinggi yang berlokasi di Sumatera Barat.
Dominasi Sumatera Barat terhadap kedua daerah tersebut juga dapat ditinjau dari adanya penggantian bupati Jambi oleh orang Sumatera Barat. Selain itu, tidak sedikit pula para pegawai di Jambi diimpor dari Sumatera Barat.
Tidak hanya di Jambi, dominasi warga Sumatera Barat dalam aspek politik juga terjadi di wilayah Riau. Dimana para mantan petinggi Kerajaan Siak tidak memperoleh kedudukan yang berperan dalam bidang politik dan ekonomi.
Hal tersebut mendorong keinginan warga Riau untuk menghidupkan kembali Swapraja Siak dan mengangkat Sultan Syarif Kasim sebagai pemimpinnya
Faktor transportasi yang kurang memadai dan harga kebutuhan yang terus naik menyebabkan warga Jambi sulit melakukan hubungan maupun komunikasi dengan pusat.
Selain Riau dan Jambi, Kepulauan Riau pun mengajukan tuntutan agar diberikan otonomi seluas-luasnya. Hal ini karena pada masa Hindia-Belanda, Kepulauan Riau menyandang status sebagai daerah istimewa. Namun ketika telah tergabung ke dalam Sumatera Tengah, posisi Kepulauan Riau menjadi kabupaten.
Faktor Sosial-Budaya, Geografis, dan Rasa Kedaerahan yang Mendorong Masyarakat Riau dan Jambi Ingin Memisahkan Diri dari Sumatera Tengah
Masyarakat Jambi mengakui bahwa mereka lebih nyaman jika tergabung ke dalam provinsi Sumatera Selatan ketimbang dengan Sumatera Tengah. Hal ini karena hubungan transportasi antara Jambi dengan Palembang lebih lancar.
Keharmonisan Jambi dengan Sumatera Selatan juga berkaitan dengan tergabungnya Jambi ke dalam bagian Sumatera Selatan pada masa Agresi Militer II.
Masyarakat Jambi juga mengakui bahwa adat-istiadat mereka lebih dekat dengan Sumatera Selatan ketimbang dengan adat-istiadat Sumatera Tengah.
Begitu pula dengan masyarakat Kepulauan Riau yang mengatakan baha masa lalu mereka berbeda dengan daerah-daerah yang termasuk ke dalam Sumatera Tengah.
Mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah figur kunci dalam peradaban Melayu yang menjadi punpunan politik, ekonomi, dan sosial dunia Melayu.
Sehingga ketika bergabung dengan provinsi Sumatera Tengah dengan dominasi dipegang oleh Sumatera Barat, warga Jambi dan Riau merasa telah terminangkabauisasi.
Faktor Pengaruh dari Tindakan Politisi Sumatera Barat
Ide untuk mengajukan hak otonomi daerah yang diajukan oleh warga Riau maupun Jambi tentunya tidak terbesit begitu saja. Para politisi Sumatera Barat merupakan salah satu elemen yang menginspirasi mereka dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah.
Warga Riau dan Jambi belajar dari warga Sumatera Barat dalam memprotes keberadaan 'orang luar' atau non-putra daerah di kursi pemerintahan, bahkan mereka terang-terangan menolak keberadaan 'orang asing' di daerahnya.
Kesadaran kaum muda terpelajar terhadap ketimpangan yang terjadi dalam pembangunan daerah serta pembagian 'jatah' daerah. Yang mana kesadaran ini pun diperkuat oleh pernyataan kaum terpelajar yang menuntut ilmu di kota atau di pusat pemerintahan.
Kesadaran tersebut membawa kematanga kepada para politisi Riau dan Jambi dalam kancah perpolitikan. Sehingga mereka sadar bahwa grakan protes pun dapat dilakukan di luar wadah pemerintahan, melalui forum atau kongres.
Hal tersebut terinspirasi dari para politisi Sumatera barat yang melakukan kongres dalam rangka demontrasi guna mendesak pencairan DPRST (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah) yang dibekukan oleh pemerintahan pusat.
Respon Pemerintah di Bukittinggi dan Jakarta Terhadap Tuntutan Pemekaran Wilayah dan Penyelesaiannya
Jika disimak dari penjelasan sebelumnya, maka sudah jelas respon pemerintahan pusat provinsi (Bukittinggi) adalah menolak dan senantiasa menghalang-halangi pemekaran yang diajukan oleh Jambi dan Riau, karena dalam hal ini mereka akan dirugikan terutama dalam hal SDA.
Berbeda dengan pemerintahan pusat (Jakarta) yang tampaknya merespon tuntutan tersebut dengan baik bahkan mendukungnya, meskipun pada mulanya respon mereka tidak berbeda jauh dengan respon Bukittinggi.
Apalagi setelah Dewan Banteng merealisasikan daerah otonom tingkat I Riau dan Jambi yaitu meresmikan tiga provinsi baru di Sumatera Tengah, pemerintahan pusat langsung memenuhi tuntutan pemekaran tersebut dengan tujuan untuk menghambat ruang gerak Dewan Banteng.
Sikap Dewan Banteng yang sedemikian rupa tersebut menunjukkan bahwa mereka mengadakan pemerintahan tandingan atau yang dikenal dengan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Sehingga untuk mencegah terjadinya separatisme, Jakarta berupaya untuk segera meresmikan pemekaran wilayah tersebut.
Penundaan realisasi tuntutan Riau dan Jambi tentunya memiliki alasan tersendiri. Jakarta (pemerintahan pusat) khawatir jika mereka memenuhi tuntutan tersebut akan menimbulkan tuntutan pemekaran di daerah lainnya.
Berbeda dengan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi yang diresmikan sebagai provinsi melalui UU Darurat No. 19 tahun 1957, Kepulauan Riau diresmikan sebagai provinsi pada tahun 2002 melalui UU No. 25 tahun 2002.
Bagi Indonesia pemekaran wilayah adalah sesuatu yang tak terpisahkan bahkan kemungkinan besar pemekaran ini akan terus terjadi. Hal ini terbukti dengan jumlah provinsi di Indonesia yang kini telah mencapai 38 buah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H