Mohon tunggu...
Fariha Qonita Salma
Fariha Qonita Salma Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seorang pelajar yang mendedikasikan dirinya bukan hanya sekedar menjadi pembelajar yang baik, tetapi bisa menuangkan aspirasinya sebagai wujud kepeduliannya terhadap masa depan anak bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Sebuah Penantian Besar

27 Desember 2023   13:50 Diperbarui: 28 Februari 2024   15:52 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perjalanan seorang bocah yang merantau ke kota orang sendirian. Bermula saat dirinya memaksa kedua orang tuanya mendaftarkan ke sekolah favorit di kota seberang. Beralibi kakaknya yang diperbolehkannya bersekolah di sana, walaupun harus terhenti pada tahap seleksi administrasi dan pendaftaran. 

Bocah polos nan lugu hanya tersenyum saat orang tuanya memperbolehkannya mendaftar di sekolah tersebut. Tak tahu, disanalah kehidupan yang sesungguhnya akan bermula. Berbagai warna dan rasa menjadi satu, mencetak sebuah sejarah baginya. Seorang bocah yang pendiam berubah menajdi lebih aktif, bahkan bisa membawa hidupnya lebih baik dari sebelumnya. 

Perjalanan hidupnya tak semulus yang dibayangkan. Menjadi terkenal, disorot dimana-mana, jadi perbincangan. Itu bukanlah kehidupannya. Kehidupannya 360 derajat berbalik dari apa yang ada. 

Dimulai saat dia mendaftar di sekolah favorit tersebut. Ia diajak oleh ayahnya untuk berjuang dengan motor bubut Sang Ayah. Sang Ayah hanya berkata "Besok kalo kamu udah ketrima di sekolah itu, baru ayah ngajak kamu pake mobil." singkat, padat, dan jelas. 

Mungkin itu salah satu pelajaran berharga yang ia dapat setelah sekian lama orang tuanya membiarkannya di sekolah dasar sendirian. Kehidupan sekolah dasarnya memang hanya berkutik pada kegiatan yang berulang-ulang. Hanya belajar dan terus belajar. Tanpa memikirkan hal apa yang harus ia siapkan tuk melanjutkan hidupnya. 

Belajar dan terus belajar, pulang sekolah langsung menuju ke depan layar televisi. Dunianya hanya sekedar tontonan dan drama belaka. Sinetron; kartun; drama; adalah makana sehari-harinya. 

Hingga suatu saat, bocah itu sedang takjud dengan sebuah acara televisi yang hanya dapat ia saksikan setahun sekali. Dirgahayu Republik Indonesia di Istana Negara. Bocah itu hanya bergumam "Pengin jadi kayak orang yang disitu, pake baju putih-putih, bersih, baguslah pokoknya."

Sarana memang banyak, namun kemampuan diri belum mampu tuk memenuhi segala persyaratan yang ada. Bocah itu tak mampu tuk bersaing dengan para seniornya ketika ia baru saja duduk di bangku pertama setelah pendidikan dasarnya. 

Perjuangganya berlanjut ke jenjang selanjutnya. Ia mencoba untuk yang kedua kalinya. Namun, nasib tidak mendukungnya. Dipercobaan keduanya pun lebih naas dari yang sebelumnya. Bocah itu pingsan si saat seleksi, tak ada lagi kesempatan tuk bocah itu untuk memperjuangkannya. Harapan satu-satunya telah rusak. 

Rasa marah pasti ada. Penyesalan sekaligus tidak terima. Namun, apalah daya, semuanya tak bisa dirubah kembali. Nasi telah menjadi bubur. Putus asa, bocah itu putus asa. Semua harapannya pupus. Semuanya seketika menjadi gelap. Di tambah dengan ia yang tak lagi sesehat yang dulu. Hal tersebut membuat peluangnya semakin kecil.

Waktu berjalan tak pernah menghiraukan seberapa sepat ia berjalan. Bocah itu kini menduduki bangku yang lebih tinggi. Seragamnya pun telah berganti menjadi putih abu-abu. Teman-temannya telah berganti dan lebih dewasa dari sebelumnya. 

Kini semua perjuangannya terbayar sudah. Dengan segala keterbatasan yang ada. Kini bocah itu telah diterima dalam sebuah komunitas baris-berbaris, ia tak berpikir apapun. Ia hanya ingin belajar lebih dalam lagi tentang baris-berbaris. Memperbaiki jalannya, mematahkan lagi gerakannya, dan menyatukan feeling dengan pasukannya. 

Menjadi komunitas baris-berbaris tak menjadikannya mudah tuk masuk ke dalam pasukan perngibar bendera di sekolahnya. Ia harus gagal masuk di saat sedang menduduki bangku kedua dari seragam putih abu-abunya. 

Sedih, kecewa, marah adalah perasaan yang harus ia lalui. Tangisan keras sering kali terdengar, itu pun tak bisa merubah apapun. Menerima adalah jalan satu-satunya tuk melewati segalanya. 

Menyerah memang membutuhkan energi. Namun, dorongan Sang Ilahi membawanya pada sebuah kesempatan yang selama ini bocah itu dambakan. Tepat saat ia menduduki bangku akhir seragam putih abu-abunya. Ia berhasil menjadi paskibra sekolah tersebut dengan menyabet pasukan tengah atau biasa disebut pasukan delapan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun